Kohati Menyambut Era Millenial

*) Oleh : Mutya Gustina 

Tak pelak kita sudah sampai pada diskursus populer terkait generasi millenial. Sudah banyak yang membedahnya berdasarkan paradigma ketat mulai sosial, agama, budaya, serta, peluang politik di masa yang akan datang. Era millenial sangat terkait dengan vulgaritas globalisasi sebagai palu godam kaca realitas kaum muda masa kini. Asumsi umum digitalisasi dan aktrifitas dunia maya yang ramai menjadi salah satu instrumen anak muda menjalankan aktifitasnya sekaligus wadah eksistensinya.
Populasi masyarakat dunia menurut data Bank Dunia 2016 mengalami peningkatan 1.4 persen artinya jika

populasi masyarakat dunia konsisten diyakini pada tahun 2020 jumlah total masyarakat dunia mencapai 8 miliar penduduk. Sebagian negara seperti Cina, Amerika Serikat, dan India akan mengalami overload ledakan penduduk. Kondisi tersebut bukan tanpa tantangan, sejumlah negara dengan kapasitas tinggi namun rendah kemampuan state resistance akan mengalami kelemahan.

Negara-negara di atas sama halnya Indonesia sedang melihat peluang generasi millenial bagi konsistensi pembangunan ke depan. Keunikan era generasi millenial yang terkonektifikasi dalam jejaring cyber dapat dinilai bahwa ada semacam pola sosial yang secara sosiologis meninggalkan pola lamanya. Di mana, cara bergaul lebih ramping dan cepat, serta aktifitas sosial lebih kepada sharing. Anak muda kita, barang kali akan sudah memetakan bentuk negara kedepan seperti apa dengan paradigma pembangunan yang bisa saja moderen atau sebaliknya tetapi tidak meninggalkan sentuhan hight technology.

Generasi millenial mereka yang nantinya pada tahun emas 2045 nanti merupakan usia subur yang sangat produktif. Arus terbesar dilihat secara antropologis, mereka akan muda terbuka, menyajikan kesempatan yang sama. Artinya gender bukan ukuran tegas pembeda. Walaupun diskursus generasi millenial masih isu kota-kota maju yang nyatanya telah menjadi pengguna teknologi lebih aktif dan mengubahnya ke arah yang lebih inovatif. Satu sisi, menyisakan celah bahwa di belahan sudut jauh dari kota kondisi dengan kultutral dan nilai-nilai tradisional kuat masih sebagai pengguna yang cenderung coba-coba. Tentu, memang tidak adil namanya jikalau kita bandingkan dengan negara Cina dan India. Tetapi hal itu tidak akan lama semua pasti menemukan celah untuk berkembang.

Di Cina kita melihat pertumbuhan industri teknologi dan manufaktur lainnya hampir mendekati pencapian Jepang. Bahwa kemampuan produksi bruto-nya sudah meninggalkan jauh negara kaisar tersebut. Hal itu ditunjang lewat pendidikan dan pendekatan akan inovasi baru. Kita harus kagum dengan India, negara bekas koloni negeri Elisabet tersebut rupanya mempu mempermak kota-kota mereka semakin maju bahwa menjadi kota pusat Inovasi dunia. Bungalore di India kini jadi rival Silicone Valley di Negeri Paman dalam urusan star up bisnis digital. Kita tak dapat membayangkan itu dua dekade lalu saat mereka masih terjebak keperesoalan pertahanan dan identitas ke-India-nnya. Kekuantan dua negara di atas tidaklah murah meriah dicapai, pendidikan dan visi maju harus selaras. Cina setiap tahunnya menghasilkan 300.000 orang profesor muda dengan mayoritas berkemampuan skill pengembangan teknologi baru. India pun hampir sama, fokus kepada teknologi informatika.

Lalu bagaimana dengan generasi muda Indonesia mengejar ketertinggalan tersebut. Bisakah kita tidak selalu dibayangi pencapaian negara maju. Satu sisi, rasa ketakutan tersebut harus segera ditanggalkan, bukan tidak mungkin kita selalu mengidap penyakit negeri pengguna bukan produsen. Salah satu strategi tersebut ialah memberikan tantangan bagi generasi mudah dengan keluasan cita-cita namun harus selaras dengan konsep pembangunan bangsa ini. Jika terus perkembangan positif kita raih, maka pada tahun emas 2045 kedepan kita dapat sejajar dengan Amerika Serikat yamg terlebih dahulu menemukan self defence-nya. Negara-negara lainnya menyusul seperti Indonesia, India, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Selandia Baru, Finlandia, dan Swedia bisa jadi konpetitor negara maju lainya. Mereka memiliki cadangan SDM dan SDA yang kaya walaupun dalam perjalan mencari rumus-rumusnya.

_*Tugas Kohati Kedepan*

Beban terberat ialah mekanisme perkaderan untuk menjawab probelmatika generasi millenial. Bukan tidak banyak kekurangan dan tantangan bagi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Korp-HMI-Wati (Kohati) sebagai badai khusus dalam HMI. Kecenderenugan generasi millenial yang menempatkan individualisme sebagai titik tolak kepercayaan beraktualisasi menempatkan mereka lebih percaya diri dan solid walaupun ikatan kelompok sangat rendah. HMI harus merumuskan akan tantangan tersebut, mungkin kedepan organisasi sharing dunia maya akan menggantikan pengaruh gerakan HMI berbasis organisasi social performance.

Generasi millenial membangun heroisme berdasarkan semangat-semangat citra dan representasi moderen sesuai semangat zaman yang ada. Mungkin kedepan, tidak banyak lagi seloroh narasi para founding father bangsa ini, bahkan pemikiran Lafran Pane, Nurcholish Madjid, dan Ahmad Wahid dirasa sudah tidak lagi berkesesuaian. Hero-hero mereka yang baru ialah sosok budaya populer hasil inflitrasi budaya global yang cukup membingungkan karena sangat dipengaruhi pasar.

Kohati memiliki fungsi sebagi gate moral dengan selalu mengusung nafas keislaman dan keindonesiaan. Artinya bukan saja soal mekanisme perkaderannya tetapi upaya menyelamatkan ruh-ruh kebudayaan yang ajeg dan konsistensi ajaran nilai keislaman dan keindonesiaan bagi kaum muda.

Kohati memiliki peran lebih karena tidak hanya HMI tetapi fokus kepada perjuangan perempuan. Kita tak dapat mengelak, maka harus siap. Anggota Kohati berjumlah banyak dan tersebar di berbagai daerah samapai ke pelosok Indonesia harus dimanfatkan sebagai basis kader bangsa yang maju dan bersaing dan tetap stand pada kejatidirian bangsa bukan budaya baru yang teradopsi secara serampangan. Tugas ini berat, karena budaya masuk lewat jejaring dunia maya. HMI dan Kohati secara khusus juga harus terlibat dalam arus tersebut dengan posisi re-branding dan re-building.

Beberapa persoalan yang menjadi acuan Kohati bagi generasi millenial. Pertama, tidak banyak perempuan yang duduk dalam profesi skill teknologi. Hal itu menjadi border yang hampir laten dan harus digerus segera. Kedua, belum terlihat fokus generasi muda Kohati terhadap kecendereungan apa saja yang dianggap berkesesuaian zaman. Ketiga, mode pembelajan masih terletak kepada pendidikan etis belum kepada praktikal taktis.

Beberapa problem di atas kita harus urai dengan mekanisme organisasi yang cepat tanggap dan adaptif. Kader kohati memang tetap dikondisikan dalam rule perjuangan yang sudah ada, tetapi mesti diberikan pemberdayaan yang lebih bersesuaian dengan zaman. Pengusaan skill adalah alasan utama jika Kohati ingin terus senafas dengan dengan zaman tanpa meminggirkan warisann kesejarahan dan pemikiran kebangsaan.(*)

*) Penulis adalah Kandidat Ketua Umum Kohati PB HMI Periode 2018-2020

iklan

Komentar