Diprotes Nelayan, Kades Labuhan Lalar : Pungutan Sertifikat Atas Dasar Kesepakatan

KabarNTB, Sumbawa Barat – Kepala Desa (Kades) Labuhan Lalar, Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Ansyarullah, bersikeras tidak akan mengembalikan uang bernilai ratusan ribu rupiah per orang yang dipungut dari para nelayan peserta program Sertifikasi Hak Atas Tanah (SEHAT) Nelayan dan menyatakan pungutan itu dilakukan karena ada kesepakatan.

Kepala Desa Labuhan Lalar, Ansyarullah

Kepada KabarNTB di kantornya, Selasa 11 April, Ansyarullah mengatakan kesepakatan tentang pungutan yang disebut sebagai partisipasi peserta program itu, terjadi pada tanggal 24 Februari 2016 lalu dalam pertemuan sosialisasi program SEHAT Nelayan yang dihadiri oleh 153 orang, yakni para nelayan calon peserta program, pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Badan Pertanahan KSB sebagai pelaksana program, serta perwakilan dari Polres KSB. Pertemuan sosialisasi itu, dipimpin oleh Sekdes Labuhan Lalar.

Dari sosialisasi itu, diketahui bahwa program SEHAT Nelayan, tidak sepenuhnya gratis. Nelayan yang menjadi peserta program tetap diminta partisipasinya untuk menyiapkan sejumlah kelengkapan untuk syarat penerbitan sertifikat, mulai dari pal (batas tanah), materai dan persyaratan administrasi lainnya.

Saat itu kata dia, disepakati bahwa bahwa nilai partisipasi pesera sebesar Rp 500 ribu dengan rincian yang dibuat tertulis dan diperlihatkan kepada seluruh peserta. Berita acara kesepakatan dan notulensi pertemuan itu besera foto-foto lengkap. Kalaupun persoalan pungutan itu tetap dipersoalkan, Ansyarullah menegaskan dirinya juga akan melaporkan seluruh kepala desa yang menjabat saat itu (tahun 2012 – 2016, tahun pelaksanaan program SEHAT Nelayan), karena mereka juga melakukan pungutan yang sama dengan dasar kesepakatan.

Ia menegaskan tidak ada biaya apapun yang diberikan dari BPN dan Kementerian terkait (KKP) untuk menanggulangi pengeluaran dalam rangka pelaksanaan program tersebut. Misalnya biaya makan minum saat pengukuran tanah, pembelian materai minimal 5 lembar per berkas dan penggandaan berkas. Padahal dengan nilai Rp 500 ribu itu, katanya, peserta terima jadi sertifikat hanya tinggal tandatangan. Seluruh proses pengurusan dilakukan oleh pihak desa.

Ia juga mempertanyakan dasar dari pernyataan sejumlah peserta program yang menganggap pungutan itu bisa masuk kategori OTT (Operasi tangkap tangan) oleh tim Saber Pungli.

“Jadi kalau saya dituntut untuk mengembalikan uang tersebut kepada peserta dasarnya apa ? Ini bukan memperkaya diri sendiri karena peruntukannya jelas. Semua desa melakukan itu sebelum ada OTT (operasi tangkap tangan oleh tim Saber Pungli) yang berlaku per 1 januari 2017, sementara kesepakatan dengan peserta dilaksanakan pada 23 Februari 2016. Lagipula barang buktinya apa dan mana? kok disebut OTT,” katanya.

Terkait adanya pengakuan nelayan yang dimintai uang sampai Rp 700 ribu, Ansyarullah mengatakan bahwa nelayan bersangkutan telah ikut dua kali sebagai peserta program tersebut, yakni tahun 2014 dan 2016. Jadi seharusnya ia menyerahkan uang sebesar Rp 1 juta.

“Tapi namanya saja sepakat 500 ribu, faktanya ada yang menyerahkan 250, 300 dan 400. Sebagai pemimpin bagaimana perasaan kita melihat masyarakat yang datang minta tolong karena ada keperluan. Apa harus paku mati tidak mau tau ? Tapi kan kasihan rakyat. Itu pula yang saya rasakan,” cetusnya.

Disinggung mengenai sertifikat yang masih tertahan di Kantor Desa, Ansyarullah mengakui hal itu. Saat ini masih tersisa sebanyak 32 sertifikat. Sertifikat itu akan dikembalikan ke BPN jika ada peserta yang tidak mengambil. Ia menyatakan sejak Perpres Nomor 87 tentang sapu bersih pungutan liar (PunglI) di berlakukan per 1 januari 2017, dirinya tidak berani lagi menagih dari peserta program yang belum membayar atau melunasi uang partisipasi itu.

“Kalau kita minta uang itu sekarang, bisa kena OTT. Jadi saya menunggu saja, peserta yang belum mengambil sertifikat untuk datang mengambil sendiri karena tidak boleh diwakilkan,” tandasnya.

Terkait aksi protes oleh nelayan terkait pungutan itu, Ansyarullah menyatakan sebagian nelayan yang memprotes tersebut tidak terdaftar sebagai peserta program. Karena itu ia menduga ada kepentingan tertentu dibalik aksi protes tersebut.

“Ada kelompok elit yang tidak senang sehingga menjadikan suasana lebih keruh,” tandasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, belasan orang nelayan Desa Labuhan Lalar pada Senin 10 April 2017 mendatangi Kantor Kelautan dan Perikanan (DKP) KSB untuk mempertanyakan biaya kepesertaan dalam program tersebut, karena oleh Kepala Desa mereka dipungut biaya (sebesar Rp 500 hingga Rp 700 ribu per orang. Para nelayan itu menuding pungutan oleh Kades sebagai pungli dan mengancam akan membawa ke proses hukum.(EZ)

iklan

Komentar