KabarNTB, Sumbawa Barat – Aktifitas jual beli emas yang saat ini marak di Sumbawa Barat ternyata telah menyebabkan ratusan miliyar rupiah nilai kekayaan alam Kabupaten Sumbawa Barat dibawa keluar daerah tanpa sepeserpun pajak atau retribusi dalam bentuk lain yang bisa ditarik sebagai pemasukan bagi daerah.
Asisten Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Sumbawa Barat, DR H Amri Rahman, kepada KabarNTB, mengatakan saat ini dari aktifitas tambang rakyat (penambang tanpa ijin – PETI) diperkirakan paling tidak ada 1 (satu) kilo gram emas murni (24 karat) yang diperjualbelikan setiap minggu di Sumbawa Barat.
“Hitung saja harganya 1 gram 500 ribu dikalikan 1.000 gram, maka harganya 5 miliyar. Dalam setahun, anggaplah 200 miliyar. Sebesar itulah nilai kekayaan alam kita yang dibawa keluar daerah tanpa ada kontribusi untuk daerah,” ujar H Amri.
“Aturan untuk mengikat mereka dengan kewajiban pajak dan retribusi yang tidak ada. Padahal kalau pajaknya 10 persen saja, maka ada 20 miliyar rupiah pemasukan daerah dari aktifitas ini. Bayangkan berapa banyak program yang bisa dilaksanakan Pemerintah Daerah dengan anggaran sebesar itu,” imbuhnya.
Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbawa Barat itu, menyatakan Pemerintah Daerah kesulitan untuk menarik pajak atau retribusi dalam bentuk lain terhadap kegiatan perdagangan emas murni yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dan umumnya melibatkan ‘pemain’ dari luar daerah itu.
Alur dari keberadaan aktifitas itu yang diawali dengan aktifitas penambangan oleh PETI, lalu diperjualbelikan belikan dan dibawa keluar daerah, kata H Amri, menjadi kendala utama bagi pemerintah daerah.
Sejak Kewenangan dalam bidang pertambangan dialihkan ke Pemerintah Provinsi sesuai amanat Undang – undang Nomor : 23 Tahun 2014 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2015 tentang pemerintahan daerah, praktis pemerintah kabupaten/kota hanya menjadi penonton karena tidak memiliki dasar untuk mengikat para pelaku jual beli emas ini dengan kewajiban pajak atau retrisubi dalam bentuk lain.
“Dalam hal perdagangannya-pun kita tidak bisa mengikat dengan kewajiban pajak dan retribusi, karena alurnya berawal dari pengambilan sumberdaya lewat penambangan (PETI). Sementara kewenangan melegalkan usaha itu ada di provinsi,” katanya.
Sementara disatu sisi, kata H Amri, aktifitas yang melatarbelakangi kegiatan jual beli emas itu telah menimbulkan dampak terhadap lingkungan di daerah. Sekarang memang belum terasa ada hubungan antara aktifitas tersebut dengan dampak bagi masyarakat, tetapi jika terus terjadi, Ia memastikan kondisi hutan dan lingkungan akan rusak dan menimbulkan bencana bagi masyarakat.
“Kita sedang mengkaji untuk pembentukan tim pengendali dan pengawas penggunaan sumberdaya ini. Pertanyaannya boleh tidak ? mengingat kewenangan itu bukan di kita (kabupaten/kota). Kalau tidak bisa, tetap rusak juga, kita juga yang kena. Sudah kehilangan pendapatan, kita juga kena dampak,” tandas H Amri.(EZ)
Komentar