KabarNTB, Sumbawa Barat – Ratusan warga desa Tambak Sari, kecamatan Poto Tano, Sumbawa Barat (KSB), mendatangi DPRD setempat dan mendesak lembaga tersebut untuk memperjuangkan status kepemilikan mereka atas lahan tambak udang yang sekiarang sedang dikuasai PT Bumi Harapan Jaya (PTBHJ), selasa 29 agustus 2017.
Warga yang merupakan eks petani plasma semasa tambak udang Tambak Sari dikelola PT Sekar Abadi Jaya (SAJ) itu menuntut agar sertifikat lahan garapan mereka (tambak udang) dikembalikan dan oknum-oknum yang terlibat dibalik kasus tersebut untuk diproses hukum.
Desa Tambak Sari merupakan Unit Pemukiman Terpadu (UPT) Transmigrasi yang ditempati sejak tahun 1999, dimana total sebanyak 364 KK warga saat itu berubah status menjadi petani plasma PT SAJ dengan pola Tambak Inti Rakyat (TIR). Setiap warga mendapatkan lahan pekarangan dan rumah tempat tinggal seluas 5 are (gratis) dan lahan usaha seluas 50 are berupa petakan tambak (pembayaran dicicil sesuai siklus panen). Lahan usaha itu kemudian disertifikasi atas nama warga dan dalam perjalanannya sertifikat itu dikumpulkan secara kolektif dan dipakai oleh PTSAJ menjadi agunan pinjaman di Bank (Bank Harpa).
Namun tahun 2001 usaha tambak PTSAJ macet dan tutup total. Sejak itu status lahan usaha warga menjadi tidak jelas. Tahun 2011 lahan tambak tersebut yang sertifikatnya diagunkan di bank, dilelang karena pinjaman yang diberikan tidak mampu dibayar. Pelelangan dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Lelang Negara (KPLN) Bima dan PT BHJ berhasil memenangkan lelang tersebut. Tahundan hingga 2012 PTBHJ resmi masuk dan mengoperasikan tambak udang seluas 280 hektar di Tambak Sari sampai sekarang.
Dalam hearing dengan Komisi I DPRD yang dihadiri kepala Disnakertrans, Kabag Pemerintahan dan pejabat terkait lainnya, Warga menyatakan proses menjadikan sertifikat milik mereka sebagai agunan di bank, tanpa sepengetahuan / persetujuan mereka. Mereka menuding ada oknum yang bermain dibalik proses tersebut.
Rustam, salah seorang warga mengaungkapkan, warga memang pernah diminta untuk menandatangani pencairan uang masing-masing Rp 1 juta per warga oleh tim 9 yang dibentuk pemerintah daerah saat itu. Dalam penjelasan tim, ungkapnya, uang itu merupakan uang tunggu selama tiga bulan bagi petani sembari menunggu masa tebar (bibit udang) berikutnya.
“Tim saat itu menyatakan warga tidak perlu khawatir dan kami disuruh bertandatangan diatas kertas kosong (tidak ada tulisan). Perlu saya tegaskan uang itu adalah uang masa tunggu dan penandatanganan itu dilaksanakan dalam forum yang dihadiri oleh 344 KK plasma,” ujarnya disambut dukungan warga lain.
Rustam menyatakan sejak awal warga sudah dikibuli oleh PTSAJ. Itu terlihat dari sistem kerjasama petani plasma dengan perusahaan yang melalui koperasi yang personilnya merupakan orang-orang SAJ sendiri. Setiap mengambil keputusan, Koperasi itu, kata dia tidak pernah melalui persetujuan anggota, tetapi diambil sendiri. Termasuk dalam sistem kerjasama yang dijalin. Petani mengambil bibit, pakan dan kebutuhan lainnya melalui koperasi itu dan dibayar secara mencicil oleh petani plasma setiap siklus.
“Jadi saat panen, setelah hutang dipotong, waktu itu nilai sampai Rp 15 juta setiap panen, baru sisanya dibagi hasil (antara petani plasma dengan perusahaan). Tidak pernah ada tuggakan karena dipotong setiap panen. Jadi kalau disebut petani banyak yang berhutan dan tidak dibayar, itu tidak benar,” tegasnya.
Penjelasan Rustam dibenarkan oleh Suhardi, mantan staff desa Tambak Sari saat itu. Ia mengungkapkan saat itu terdapat sebanyak 18 warga yang tidak bersedia bertandatangan.
Sementara Kabag Pemerintahan Setda KSB, M Endang Arianto, menyatakan bupati telah memerintahkan agar pihaknya menelusurif persoalan ini dari hulu sampai hilir.
“Kalau ada dugaan penyimpangan, misalnya ada oknum yang bermain, bupati menegaskan untuk diproses hukum. Jadi kami minta warga bersabar karena pemerintah daerah tetap bekerja dalam persoalan ini,” katanya.
Komisi I sendiri meminta agar pemerintah daerah serius dan bekerja maksimal agar persoalan ini bisa segera clear.(EZ)
Komentar