Pertama di KSB, Staff Desa Gugat ke PTUN karena Diberhentikan Kades

KabarNTB, Sumbawa Barat – Kasus ini, bisa jadi sejarah baru dalam konteks pemerintahan desa di Sumbawa Barat, bahkan NTB. Seorang staff desa melayangkan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena dirinya diberhentikan dan menganggap pemberhentian itu cacat hukum.

Adalah Mardana, seorang staff Desa Poto Tano, Kecamatan Poto Tano, KSB, menggugat surat pemberhentiannya oleh Kepala Desa setempat tertanggal 6 Desember 2017, ke PTUN Mataram. Gugatan itu tercatat dengan Nomor registrasi perkara : 06/G/2018/PTUN.MTR.

Mardana menganggap pemberhentian dirinya cacat hukum karena bertentangan dengan UU Desa Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, PP 43 2014 dan Permendagri 83 th 2015 tentang tata cara pemberhentian perangkat desa.

“Pasca pilkades, banyak perangkat desa yang diberhentikan oleh kades baru, karena janji-janji ketika pemilihan. Padahal ada mekanisme pemberhentian staff desa, tidak bisa semena mena,” ujar Mardana.

Mardana dan kuasa hukumnya, Supiadi usai memasukkan gugatan ke PTUN Mataram

Kuasa Hukum Mardana, Supiadi, yang mendampingi kliennya saat memasukkan gugatan ke PTUN Mataram, Jum’at 12 Januari 2018, mengatakan pemberhentian yang dilakukan Kades Poto Tano bertentangan dengan aturan yang ada.

Sebagai penggugat, kliennya, kata Supiadi, sudah melayangkan keberatan kepada Pemda Sumbawa Barat terkait pemberhentian itu, pada 20 Desember 2017. Namun tidak ada tindaklanjut.

“Sehingga penting bagi kami untuk menempuh jalur hukum untuk mengembalikan kedudukan dan jabatan klien kami,” ucapnya.

Supiadi juga menyayangkan sikap Camat Poto Tano yang dianggapnya lalai dan kurang memahami tupoksinya, sehingga pemberhentian itu terjadi.

“Untuk diketahui, di Poto Tano pemberhentian staf desa sudah terjadi beberapa kali dan kuat dugaan juga tidak sesuai mekanisme yang diatur,” imbuhnya.

Semestinya, sambung Supiadi, sebelum pemberhentian, ada surat peringatan dulu, ada konsultasi camat dan rekomendasi camat. Tapi itu tidak dilakukan

“Jadi wajar kami menilai camat lalai dalam hal ini. Perlu diingat, undang-undang mengatur masa pengabdian staff desa sampai usia 60 tahun, jadi tidak adil diberhentikan tanpa alasan yang jelas,” bebernya.

Supiadi mengharapkan perkara itu bisa segera disidangkan dan menghasilkan putusan yang baik bagi semua pihak. Dan kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi kepala desa dan Camat serta pihak BPMPD untuk lebih peduli terhadap nasib perangkat desa.

Sementara itu, Kepala Desa Poto Tano, M Nur Hasan yang dikonfirmasi via telephon Jum’at sore, menegaskan bahwa pemberhentian Mardana sudah melalui prosedur sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 6 Tahun 2014.

Sebelum pemberhentian itu dilakukan, pihaknya sudah berkonsultasi dengan camat dan DPMPD sebagai leading sektor yang mengurusi pemerintahan desa. Bahkan sebelum pemberhentian dilakukan tanggal 6 Desember, pihaknya menggelar rapat dengan RT dan masyarakat. Di rapat itu justeru muncul desakan agar dirinya selaku kades yang memiliki kewenangan melakukan evaluasi terhadap kinerja staff desa untuk memberhentikan yang bersangkutan.

“Pemberhentian tentu ada alasan dan prosedurnya. Saya sebagai Kades juga sudah melakukan pembinaan selama setahun kepada yang bersangkutan tetapi tidak ada perubahan,” ungkapnya.

Kades Nur Hasan juga membantah bahwa pemberhentian itu berdasarkan suka dan tidak suka atau terkait dengan Pilkades. Diakuinya bahwa Mardana bukan pendukungnya saat Pilkades berlangsung.

“Tetapi bukan dia saja yang menjabat sebagai staff desa yang tidak mendukung saya. Yang lain ada kok dan tetap bekerja sampai sekarang,” imbuhnya.

Terkait gugatan atas pemberhentian itu oleh Mardana melalui PTUN, Nur Hasan menyatakan itu hak yang bersangkutan.

“Silahkan saja, itu hak dia. Yang jelas pemberhentian itu sudah melalui prosedur,” tandasnya.(EZ)

Komentar