Oleh : Mohamad Joemail, SST. Par., M. Par.
Tulisan ini penulis hajatkan sebagai bahan refleksi terhadap keberlanjutan industry pariwisata di tengah krisis yang diakibatkan pandemic Covid-19.
Sejak pandemic Covid-19 merebak setahun lalu, pergerakan dan mobilitas manusia langsung menurun drastis dan bahkan sempat terhenti total. Akibatnya industry perjalanan dan akomodasi seakan mati suri. Di antara sekian banyak industry maka industry pariwisata lah yang pertama kali dan langsung terdampak akibat Covid-19. Di mana-mana, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh belahan dunia, industri penerbangan melakukan ‘plane grounded’ dengan membatasi frekuensi maupun kapasitas penerbangannya. Hotel okupansinya menurun drastis, karyawan dirumahkan, dan beberapa perusahaan juga sudah mulai memberlakukan kebijakan PHK. Pada sisi lainnya, masyarakat juga mengalami penurunan daya beli. Ternyata Covid-19 telah menyebabkan krisis di berbagai sendi kehidupan. Belum lagi dampak lain yang belum terungkap. Lalu pertanyaan mendasarnya adalah “bagaimana nasib pariwisata kita…? Bisa tidak kita berwisata? Bagaimana caranya dan kemana…?
Memang membicarakan pariwisata dengan konsep dasarnya adalah pergerakan dan mobilitas orang untuk bersenang-senang di era pandemic Covid-19, rasanya kontraproduktif dengan situasi dan kondisi yang sedang kita hadapi sekarang yakni ‘krisis’. Namun yang perlu ditegaskan bahwa bukan berarti berbicara pariwisata sekarang itu sebagai sesuatu yang ditabukan. Dalam konteks krisis sendiri bukan berarti menyerah dengan keadaan, tapi harus ada ‘decision must be taken’. Nah, pada titik ini lah keputusan untuk menentukan nasib pariwisata harus dibuat bersama. Konteks ini pula yang menumbuhkan semangat optimisme tingkat tinggi bagi stakeholder yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tak langsung dengan aktivitas pariwisata sehingga pariwisata di masa mendatang dapat minimal, sama atau bahkan lebih baik dari sebelum pandemic. Sesungguhnya, di balik pandemik Covid-19 ada banyak berkah yang bisa diambil sebagai pelajaran sembari menyiapkan dan membenahi destinasi.
Untuk menjawab ‘nasib pariwisata’ sekarang dan di masa mendatang sangat tergantung pada upaya pemulihan dan penyelamatan ‘ekosistem’ pariwisata itu sendiri. Maka keputusan yang harus dibuat misalnya, upaya yang sudah dilakukan pemerintah selama ini dengan menerapkan Cleanliness, Healthy, Safety, Environmentally (CHSE) yang terimplementasi dalam protokol kesehatan yang ketat di semua jenis usaha termasuk jasa wisata adalah keputusan strategis. Kalau kita (tuan rumah dan tamu) sudah terbiasa dengan konsep CHSE maka optimis bahwa industry pariwisata dapat berkelanjutan walaupun di tengah krisis Covid-19. Keputusan berikutnya yang harus dibuat adalah strategi menyelamatkan core product pariwisata itu sendiri yakni, SDM. SDM menjadi sangat vital dalam konteks pengantaran pelayanan. Penyelamatan yang bisa diupayakan adalah dengan memberikan bantuan psikososial dan stimulus untuk mempertahankan dan keberlanjutan ‘asap dapur’ bagi pekerja di sektor jasa. Upaya yang dilakukan Pak Sandi selaku Menteri Parekraf dengan berkeliling di beberapa destinasi dengan melihat peluang-peluang ekonomi kreatif yang dapat dikembangkan patut diapresiasi sebagai langkah penyelamatan SDM tadi. Apalagi ada kebijakan yang langsung memberikan bantuan ekonomi kepada para pekerja pariwisata yang terdampak, ini bagus sekali untuk tetap menumbuhkan kepercayaan diri dan menyadarkan bahwa pariwisata masih hidup.
Keputusan yang harus dibuat pada masa krisis yang lain adalah memulihkan citra destinasi. Citra destinasi berkaitan erat dengan apa yang dipersepsikan (dilihat, didengar, dirasakan), singaktnya apa yang diinderakan oleh seseorang terhadap situasi dan kondisi destinasi. Citra destinasi saat ini pastinya banyak dipengaruhi oleh Covid-19. Citra destinasi yang beresiko tinggi, sedang, dan rendah akan menjadi pilihan dan pertimbangan wisatawan untuk berkunjung di era sekarang. Untuk itu, memulihkan citra destinasi diperlukan upaya promosi dan pemasaran yang tepat, misalnya dengan membangun opini bahwa destinasi sudah menerapkan CHSE dengan sangat ketat. Disadari pula bahwa memasarkan destinasi pada masa pandemic seperti sekarang ini cukup sulit karena semua destinasi termasuk juga negara asal wisatawan sedang mengalami masalah yang sama. Dimana aktivitas pariwisatanya di’ lockdown’ . Jika ini yang terjadi maka aktivitas pemasaran memang jangan sampai terhenti tapi terus berusaha memberikan pencitraan yang positif dengan strategi kekinian tentang destinasi sembari berbenah hingga siap memberikan pelayanan. Intinya bahwa destinasi pada masa pandemic seperti saat ini perlu terus mengomunikasikan krisis dengan manajemen yang tepat.
Keputusan berikutnya adalah mencoba membuka pintu antar-destinasi dalam satu wilayah dengan konsep ‘travel bubble’. Hal ini memungkinkan aktivitas pariwisata berjalan walaupun dalam skala kecil. Minimal antar destinasi dapat saling ‘menukar’ wisatawannya. Pilihan yang paling rasional saat pandemic adalah menggairahkan pariwisata domestik tentu dengan tetap menerapkan protokol CHSE. Sebagai ilustrasi, destinasi wisata yang ada di Lombok membuka pintunya untuk wisatawan yang berasal dari pulau sebelah, Sumbawa dengan menyeleksi wisatawan yang berasal dari zona aman Covid-19. Memang pilihannya tidak mudah tapi harus dilakukan mengingat kebutuhan dasar masyarakat dan pelaku wisata yang harus dipenuhi. Setelah mencoba konsep travel bubble antar-destinasi dalam satu wilayah dikatakan sukses maka pangsa pasarnya bisa diperluas dengan, misalnya melirik destinasi seperti Bali atau destinasi lain yang ada di Indonesia yang ada kesepakatan dengan para stakeholder. Konsep travel bubble pada skala kecil dapat diupayakan dengan menggelar event-event yang juga berskala kecil, misalnya rapat koordinasi para pemerintah daerah yang penyelenggaraannya bergiliran di masing-masing destinasi. Walaupun aktivitas seperti ini memberikan dampak ekonomi yang tidak besar, paling tidak kesan-kesan bahwa pariwisata itu masih hidup, masih terasa. Minimal hotel tidak sepi, karyawan ada yang masuk, dan ada biaya untuk memelihara infrastruktur dan fasilitas lainnya. Keputusan lainnya adalah menetapkan kebijakan dengan membuka akses dan kemudahan-kemudahan berwisata misalnya dengan memberikan discount baik pada harga kamar, tiket perjalanan maupun tiket masuk destinasi, membebaskan biaya rapid test dan menyediakan ruang karantina.
Untuk menjawab pertanyaan selanjutnya, bisa tidak kita berwisata di era pandemik begini? Jawabannya pasti bisa tapi dengan catatan, patuhi protokol kesehatan dengan menerapkan CHSE. Pelajaran terpetik juga bahwa berwisata sekarang ini polanya sudah mulai berubah. Pola berwisata di masa mendatang sepertinya juga menuntut adanya adaptasi-adaptasi baru seperti perjalanan wisata dengan ukuran yang lebih kecil dan durasi yang lebih pendek. Dari segi waktu, biaya, dan tenaga juga mengarah pada efektfitas dan efisiensi dengan nilai tambah tinggi. Dari sisi geografisnya, sekarang berwisata tidak perlu jauh-jauh, konsep ‘staycation’ sudah mulai menjadi trend tersendiri di era pandemik. Dari fenomena ini, ke depannya pola perjalanan wisata dan gaya atau style wisatawan menikmati atraksi wisata juga akan mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan era new normal.
Yang disadari pula bahwa berwisata adalah sebuah kebutuhan makanya semakin hasrat berwisata itu mendapat kendala, tantangan, dan bahkan ancaman, maka semakin tinggi pula hasrat orang untuk melakukan perjalanan wisata sebagai sebuah respon untuk mencari kesenangan, keluar dari rutinitas, dan melarikan diri (to escape) menikmati ‘kebebasan’ fisik dan psikis yang pada akhirnya menimbulkan semacam ‘impulsive traveling’. Keinginan secara mendadak untuk melakukan perjalanan wisata. Dengan Covid-19 sesungguhnya secara tidak langsung juga menjadi penyebab terjadinya ‘withdrawal syndrome’ gejala dimana orang akan melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan bersenang-senang. Bila kedua gejala ini sudah terlihat maka tidak ada pilihan lain bahwa pariwisata harus diselamatkan. Dengan demikian, berwisata di era pandemik bukan sesuatu yang tabu untuk dilakukan namun lebih pada penyesuaian-penyesuaian dengan era new normal. Pertanyaan terakhir sekaligus sebagai penutup dari tulisan ini, sanggupkah kita berwisata dengan cara-cara baru? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. (*)
Penulis adalah Dosen L2Dikti Wil. VIII dpk Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram.
Komentar