Jakarta,KabarNTB – Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) akan diselesaikan pada masa sidang sekarang. “Apapun kondisinya RUU ini harus diselesaikan, kalaupun tidak disepakati pada Tingkat I, akan tetap dibawa ke Tingkat Rapat Paripurna,” ujar Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa dalam Forum legislasi di Press Room DPR, Selasa (4/2).
Dalam acara yang bertema perkembangan pembahasan RUU Pilkada ini hadir pula Dirjen Otonomi Daerah Johermansyah dan pengamat politik dari Lipi Siti Zuhro.
Selanjutnya Pimpinan Komisi II ini berharap, tidak ada substansi yang harus berujung di Rapat Paripurna nanti dengan pengambilan keputusan melalui voting (pemungutan suara) dan tidak menyisakan satupun masalah yang belum disepakati. “ Itulah tekad kuat dan semangat di Komisi II,” katanya.
Sejak awal, kata Agun, Komisi II sudah sepakat perlunya Pilkada serentak, semua setuju dilakukan pada 2015 dan 2018. Artinya lima tahun ke depan pasca pemllu 2014, hanya ada dua kali pemilukada yang diserentakkan yaitu tahun 2015 dan 2018. Mana yang akan dikelompokkan, melihat akhir dari jabatan masing-masing kepala daerah.
Yang belum dicapai kesepakatan, menurut politisi Golkar ini, apa yang dimaksud pemilukada serentak, apakah pileg dan pemilu eksekutif, atau pemilu lokal atau pemilu nasional. Ini masih menjadi perdebatan karena masing-masing fraksi mempunyai argumentasi yang kuat. Karena itu, sudah ada kesepakatan yang mengerucut, melihat keputusan MK terakhir bahwa pemilu legislative dan pemilu presiden akan serentak pada pemilu 2019.
“Yang diserentakkan itu sesuai perintah konstitusi yaitu pemilu lima kotak sesuai bunyi pasal 22 E UUD 45 bahwa pemilu 5 tahun sekali itu untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD,” tegasnya.
Merujuk kepada keputusan MK yang bersifat final dan mengikat itu, maka KomisiII sudah mengerucut pada gagasan pemikiran bahwa yang dimaksud pemilu serentak tahun 2015 dan 2018 itu adalah pemilihan kepala daerah. Karena itu tidak ada lagi perdebatan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Untuk selanjutnya, jelas Agun, untuk pemilukada berikutnya hanya lima tahun sekali yaitu tahun 2020. “Jadi nanti 2019 hanya ada pemilu dan 2020 pemilukada, itu siklus yang dikondisikan, namun belum diketuk palu, masih diberi kesempatan kepada fraksi-fraksi berkoordinasi dengan DPP dan Kemendagri dengan Presiden,” katanya.
Pengamat Lipi Siti Zuhro mencatat, dalam pembahasan RUU ini terlihat kebingunan baik DPR maupun Pemerintah. Kebingungan pemilu seperti apa yang akan diterapkan di Indonesia karena obsesinya semula dengan pelaksanaan pilkada langsung ternyata hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. “Artinya kita sedang melakukan pencarian system pemilu apa yang tepat dilaksanakan di Indonesia. Saya lebih condong harus membedakan tidak lima kotak,” katanya.
Menurut Zuhro, biarlah pemilu nasional miliknya pilpres dan pileg yang dilakukan simultan minus DPRD, dan pemilu lokal biarlah miliknya pilkada dengan DPRD. Jangan lupa, Pilkada itu harus konek dengan Otonomi daerah.
“Kita coba memahami praktek otonomi, lokal konten ini banyak nggak jelasnya. Banyak isu-isu daerah yang tidak dikedepankan, justru isu nasional lebih menonjol. Ini yang harus dikedepankan karena tidak mungkin menggelar pilkada caranya terpusat. Akhirnya tidak terlihat lagi kebanggaan-kebanggan daerah,” katanya.
Akhirnya Zuhro menambahkan, kita menata ulang pemilu karena apa yang dilaksanakan selama ini ternyata sudah salah. “Kita tidak konsisten dengan system presidensial kita, bukan serentaknya. Tetapi meletakkan system presidensial yang tidak tepat. Hanya di konsitusi, dalam prakteknya tidak,” pungkas Zuhro.
Sumber : dpr.go.id
Komentar