Pilkada serentak selesai, setidaknya proses pemilihannya. Hasilnya? Sudah terbayang, meski belum ada legitimasi. Para pendukung? Saling memberi ucapan selamat ke masing-masing kubu. Saling mengevaluasi dan menguatkan. Sinisme antarpendukung juga tak dapat dihindari. Syukurnya, beberapa waktu pasca Pilkada, kondisi daerah, terutama di Nusa Tenggara Barat cukup normal. Riak-riak kecil mungkin tak dapat dihindari, tapi taksampai membuat kondusivitas terganggu. Bagaimana dengan rakyat? Tetap kembali beraktivitas dengan sejumlah angan yang disertai harapan, rasa haru, takut, atau apatis yang membayangi. Lalu, Penguasa? Mungkin sudah membayangkan akan ada reposisi sebagai pelayan rakyat dan beberapa resolusi lainnya.
Berbicara pilkada di tingkat lokal, banyak hal menarik dan kejutan yang terjadi. Mulai dari fenomena perolehan suara yang melejit pada salah satu pasangan, yang dianggap sebagai “new comers”. Dengan bekal “cost politics” yang terbatas, mampu menarik simpati masyarakat. Waktu kampanye dan persiapan yang lama pun tak terbukti bisa meraup suara terbanyak. Bahkan, menggandeng partai-partai besar dan senior tak menjamin bisa menang dalam Pilkada. Di tingkat lokal, simpati masyarakat lebih mudah didapat dengan figur calon atau cara mereka berkampanye. Figur yang kharismatik masih mendominasi perolehan suara. Kampanye yang santun serta kesolidan tim sukses juga menjadi kunci untuk meraih suara mayoritas. Di daerah, pasangan yang kalah justru mendapatkan predikat kekalahan yang terhormat. Elegan. Banyak faktor yang mempengaruhi. Blunder dan sekian masalah yang dilakukan oleh lawan menjelang pemilihan cukup mempengaruhi. Akibatnya, suara banyak beralih ke pihak lawan, meskipun pada akhirnya tak mampu mengungguli.
Proses pra-Pilkada di daerah pun terbilang unik. Beragam fakta di daerah menunjukkan beberapa golongan terkategorisasi dalam memilih pasangan. Golongan skeptis masih terlihat mendominasi, meskipun itu fluktuatif. Mereka melihat sosok-sosok yang maju memiliki potensi seperti halnya mahasiswa dengan tipe bermental “sok kuasa”, yaitu merintih jika ditindas, menekan jika berkuasa. Bagi yang bekerja pada posisi aman di pemerintahan, merasa tidak perlu terlalu peduli dengan Pilkadal tersebut. Daripada pusing-pusing berargumen untuk mengumpulkan kekuatan memilih satu sosok, lebih baik melakukan kesenangan pribadi atau hal-hal lebih bermutu lainnya. Sedangkan bagi yang sedang menjajaki posisi, mengambil ancang-ancang untuk menetapkan pilihan dan bekerja mati-matian untuk memenangkan sosoknya.
Ada pula yang bersikap “idealis” dalam pemikiran bahwa proses memilih pemimpin semacam ini akan menjadi “bullshit” jika masyarakatnya masih saja mau dibodohi dengan janji-janji manis, amplop, jargon, dan pencitraan. Golongan ini lebih memilih untuk berkegiatan di masyarakat, melakukan hal-hal bermanfat untuk masyarakat, tanpa peduli proses hiruk pikuk yang tengah berlangsung. Dan yang paling aman sebenarnya adalah posisi golongan yang berharap semua akan indah pada waktunya, perubahan akan dimulai dengan berdoa, mengharap perubahan akan datang dariNya, yang maha segalanya.
Kini, proses Pilkada telah berlalu. Kekalahan dalam sistem Demokrasi Liberal menjadi hal yang lumrah. Bagi yang menang, kemenangan menjadi musim panen setelah bekerja keras. Bagi yang kalah, biaya politik yang tinggi dianggap sebagai investasi kemenangan yang tertunda. Namun, hasil dari pemilihan langsung bukanlah sebatas itu. Idealnya, yang menang akan segera menempati posisi kekuasaan di berbagai lini. Yang kalah akan kembali merdeka, bebas mengungkapkan perbedaan pendapat dengan bertanggung jawab, sebagai pengontrol penguasa.
Dalam tulisan ini, saya tertarik membahas yang kedua, yaitu bagaimana mengontrol kekuasaan. Pilihannya adalah oposisi. Apa itu oposisi? Sebelumnya kita memang harus mengubah “mindset” berpikir tentang oposisi, yang selama ini disamakan dengan sifat membangkang. Sebagai produk Barat yang dialektis, oposisi tidak lain adalah sikap berbeda pendapat yang muncul dari penilaian yang kritis terhadap situasi. Kemungkinan untuk berbeda pendapat sangat diperlukan demi mencegah timbulnya ketaatan yang palsu. Perbedaan pendapat menjadi keniscayaan, apalagi hal itu telah terlembagakan dalam Pancasila dan UUD 1945. Oposisi menjadi teknik yang saling terbuka untuk menunjukkan sikap yang sebenarnya, dan berjarak dari objek yang dikritiknya.
Lalu, bagaimana tradisi oposisi harus dijalankan di tingkat lokal? Idealnya, kubu oposisi bisa dengan leluasa menelanjangi kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Namun, mereka juga tak segan-segan memuji jika hal itu berdampak baik di masyarakat. Tradisi oposisi laiknya dua mata uang dengan kekuasaan. Perlu ada penyeimbang, pengontrol, bagi kekuasaan terutama di tingkat lokal. Jika tidak, semangat otonomi daerah yang digaungkan pasca Reformasi tetap akan begini-begini saja. Menjadi raja kecil yang mengeruk daerah.
Lalu, siapa yang harus berperan? Selain partai oposisi, kelas menengah yang banyak dilakoni oleh kelompok intelektual, dan media menjadi kunci konsistensi. Kelompok intelektual memegang peranan penting dalam melakukan kritik pada pemerintahan. Selain karena secara teoritis memahami konsep kekuasaan, mereka memiliki tanggung jawab moral dan sosial dalam perubahan. Namun, tingkat kesulitan menjadi oposisi yang baik di daerah terbilang tinggi. Apalagi dengan nuansa nepotisme dan “ewuh pakewuh” yang menyebabkan gesekan di daerah terlihat semu. Idealisme kaum terpelajar menjadi dipertanyakan ketika mereka bergandengan tangan dengan pihak penguasa. Mereka tak mampu berjarak dan objektif atas hal yang dikritiknya. Belum lagi, tuntutan memenuhi kehidupan sendiri yang kadang morat marit apabila menjadi oposisi di daerah.
Kelompok penekan dan ideologis seperti kaum terpelajar, agamawan, seniman, dan sebagainya laiknya memiliki konsistensi dan keberanian atas resiko yang dihadapi. Memang terdengar heroik dan tak realistis bagi sebagian kalangan, meskipun hal itu bukanlah tak mungkin. Bahkan, banyak juga muncul tokoh revolusioner di daerah. Akan lebih berbahaya lagi apabila tradisi oposisi tidak dilaksanakan dengan baik. Perlawanan di daerah banyak terjadi ketika pemimpinnya tak mampu mengayomi dengan baik. Lihat saja masyarakat Rembang terutama ibu-ibu petani, di Kendeng, Urut Sewu (Kebumen), Petani Lahan Pantai di Kulonprogo (Yogyakarta), melawan korporasi tambang. Kita dapat membayangkan betapa berbahayanya suatu daerah tanpa kontrol kuat dari aparatus ideologi cum kelompok penekan. Agaknya kita perlu mengutip puisi dari Wiji Thukul berikut ini :
“Jika rakyat pergi. Kita penguasa berpidato. Kita harus hati-hati. Barangkali mereka putus asa/Kalau rakyat sembunyi. Dan berbisik bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar/ Dan bila rakyat tidak berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa. Tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam/ Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversi dan menggangu keamanan. Maka hanya satu kata : LAWAN!” (Solo: 1986)
Tradisi oposisi bukanlah upaya membangkang, tapi justru mengontrol agar rakyat tidak semena-mena diperlakukan penguasa. Agar otonomi daerah benar-benar membawa angin segar bagi rakyat. Agar tidak ada lagi raja-raja kecil yang muncul berwajah pemimpin. Dan upaya untuk itu, tak lain agar semua barisan mengawal pembangunan, dengan cita rasa oposisi. []
Oleh : Nurhikmah [Magister Humaniora dan Ketua Komunitas Literasi Anorawi]
Riwayat Diri
Nurhikmah
Sumbawa, 02 Januari 1986
Perempuan
NIK 5207024201860002
081-904-193-669
ruanghisteria@gmail.com