(Sebuah Telaah Kritis Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam)
Oleh : Nurul Jihad, S.Ag., M.Pd
nurulilcani@gmail.com
Lembaga-lembaga pendidikan kembali akan menamatkan peserta didik yang berkatagori “lulus” dengan asumsi telah memenuhi kompetensi intelktual, kompetensi sikap dan memiliki keterampilan, dengan harapan agar mereka dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, atau bagi yang menamatkan di sekolah kejuruan, dapat segera memasuki dunia kerja sesuai dengan program keahlian yang pernah mereka tempuh, atau paling tidak tenaga dan keterampilan mereka bisa “terpakai” dimana saja, alias tidak menganggur.
Dalam kacamata Islam lulus dari sekolah bukanlah jenjang akhir dari sebuah proses belajar. Dan masuk Perguruan Tinggi dan bekerja bukanlah indikator kesuksesan pendidikan, akan tetapi, bisa hidup bersama dan mampu memberi warna positif di tengah masyarakat tempat dimana ia berada, itulah sesungguhnya sukses, karena ada banyak orang belajar di sekolah bagus, memilih jurusan yang prospek tapi justru ditakdirkan eksis di bidang lain jauh dari apa yang dicita-citakan dan hal itu sangat wajar adanya.
Karenanya final dari sebuah proses belajar adalah seperti pilar ke 4 yang menjadi acuan pendidikan menurut UNESCO, Learn to live together, belajar untuk bisa hidup bersama di tengah masyarakat setelah menmpuh tiga proses sebelumnya yakni, learn to know, learn to do dan learn to be.
Satu hal yang tidak boleh luput dari pemikiran dan ikhtiar semua fihak, ibarat berbelanja, ada satu mata uang yang dapat dipakai berbelanja di mana saja, yakni al-akhlakul karimah, pribadi yang baik dan mulia, dibutuhkan diamana saja, oleh dan dengan siapa saja, “duribat alaihimuzzillatu ainama tsuqifuu illaa bihablin minallah wa hablin minannaas” manusia akan menjadi hina dimanapun ia berada kecuali tetap menjalin hubungan baik dengan Allah dan menjalin hubungan baik dengan manusia. (Al-Qur’an).
Dan inilah misi utama kehadiran Rasulullah di tengah ummat manusia yakni, menyempurnakan akhlak, “ innamaa bu’itstu li utammimaa makaarimal akhlak”, ( Al-Hdits). Dengan modal inilah manusia menjadi baik dan dengan kebaikan itulah ia memakmurkan bumi yang diamanahkan kepadanya. (Irwan Prayitno, 2005).
Mari kita cermati cara dan budaya anak-anak sekolah merayakan keberhasilannya…., ini adalah satu dari sekian banyak kasus kegagalan pembinaan akhlak. Mereka tidak mampu menunjukkan budaya berterima kasih kepada guru yang telah mengajarkanya selama 3 tahun, lupa untuk segera bersujud sebagai wujud rasa syukurnya kepada Allah SWT, melainkan lebih memilih berhura-hura melampiaskan kesenangannya dengan aktivitas yang sangat tidak positif, kebut-kebutan, ugal-ugalan, corat-coret pakaian seragam, pesta miras dan aksi-aksi yang cenderung merugikan diri sendiri.Pemandangan di bawah ini tentu bukan warna positif yang dirasakan masyarakat.
Padahal masyarakat adalah faktor penanda keberhasilan pendidikan, ketika masyarakat merasa nyaman dengan kehadiran orang terpelajar dilingkungannya, maka itu berarti bahwa ia telah sukses belajar, bahkan bila masyarakat mengharapkan satu peran kepadanya, sekalipun hanya menjadi koordinator kerjabakti di lingkungannya, maka org tersebut harus mampu memenuhi harapan itu dengan penuh tanggungjawab, tanpa harus mempertimbangkan disiplin ilmu dan latar belakang jurusan yang pernah ia pelajari.
Apalah arti sebuah kepintaran dan keahlian/keterampilan bila tidak dibarengi dengan sikap dan kepribadian yang baik, kalaulah seorang tidak terlalu cerdas dan kurang terampil tapi setidaknya dia masih bisa diarahkan dan mau belajar dan berlatih, maka tanpa disadari persaingan-persaingan hidup akan berhasil ia menangkan sehingga seseorang akan tetap eksis di tengah masyarakat.
Kecerdasan intelektual atau kemempuan secara kognitif dan keterampilan dalam berkarya, sesungguhnya hal yang mudah di dapat oleh manusia seiring perkembangan manusia itu sendiri, tanpa seorang nabipun manusia bisa pintar dan terampil melalui manusia lain, seperti guru, teman, atau pengalamannya sendiri.
Tapi penanaman akhlak mulia haruslah melalui proses keteladanan dari pribadi yang utuh yang bisa dijadikan figur oleh orang lain dan tentunya absolutisme interpensi sang khaliq di dalamnya. Hal ini harus benar-benar difahami olah setiap pendidik, karenanya, selain mengajar, melatih, mencontoh, seorang guru dengan jiwa mendidiknya, harus mendoakan muridnya setiap saat, karena sesunggunya surga tak dapat di warisi dari ayah yang bertaqwa sekalipun, tanpa kehendak Allah SWT. Di dalamnya. (V.G. Rayhan)
Pertanyaannya kemudian…? apakah guru agama atau materi pelajaran agama mampu menyempurnakan akhlak manusia…? seharusnya ia, tapi kondisi hari ini mengisyaratkan “tidak”, karena antara struktur kurikulum, standar isi, standar proses sampai kepada suguhan berbagai strategi dan metode pembelajaranpun hanya bertujuan agar siswa mampu menjawab pertanyaan ujian dan mendapat hasil belajar dalam bentuk nilai yang gemilang.
Pada tataran implementasi, penulis merasakan dan menemukan gejala yang menasional tentang pembelajaran pendidikan Agama yang diposisikan sebagai fihak yang paling bertanggung jawab terhadap kemerosotan akhlak siswa di sekolah, menurut hemat penulis, beberapa faktor yang melemahkan antara lain bahwa : mata pelajaran PAI (baca Agama) lebih banyak menekankan pada aspek kognitif, materi pembelajaran PAI hanya mengungkapkan masalah-masalah normatif, “seputar halal-haram, surga-neraka, pahala dan dosa” sedikit menyentuh kondisi obyektif hari ini, guru PAI kurang menguasai metode pembelajaran bervariasi, kurangnya wawasan guru agama tentang pengetahuan umum kekinian yang bersifat kontekstual, pelajaran PAI dan profesi guru Agama kurang bergengsi dan tidak memiliki nilai ekonomis seperti matematika, bahasa Inggris dan yang lainnya, mata pelajaran PAI tidak di-uji-nasionalkan, serta evaluasi pembelajaran PAI cenderung kurang obyektif karena tidak memiliki alat ukur yang jelas terutama dalam penilai yang bersifat afeksi.
Penulis tidak hendak mengkambinghitamkan kurikulum PAI yang menurut hemat penulis harus terus dikembangkan dari waktu ke waktu, tapi dalam renungan 2 mei ini, penulis juga ingin merefleksi kembali kepada diri sendiri dan figur guru agama yang dengan sadar sepenuh hati ingin mengembangkan diri menjadi lebih baik dan berkolaborasi sirnergis dengan semua fihak, sesama guru, pimpinan, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai decision maker.
Karenanya Implementasi nilai-nilai agama pada peserta didik jangan hanya menjadi tugas guru PAI saja, tetapi harus ada komitmen bersama dari seluruh warga sekolah agar belajar agama tidak sebatas tranfer ilmu pengetahun dan informasi tetapi terinternalisasinya nilai agama dengan maksimal dan membudaya dalam keseharian peserta didik sehingga mampu membentuk sikap dan keperibadian mulia sebagaimana yang kita harapkan bersama.
Menurut hemat penulis ada 5 faktor yang harus ada dalam pola sinergi pembudayaan nilai-nilai agama di lingkungan sekolah:Ada regulasi yang ekslplisit yang mendukung pengembangan pendidikan Agama dan keagamaan di sekolah
Adanya konsep gagasan dari pimpinan unit (kepala sekolah) bersama guru agama, yang dikeluarkan dalam bentuk kebijakan sebagai terjemahan dari regulasi dengan memperhatikan aspirasi, sehingga pimpinan tidak salah dan tidak disalahkan dalam mengeluarkan kebijakan
Ada kolaborasi yang utuh dari semua guru mata pelajaran lainnya
Komunikasi aktif intensif dengan orang tua siswa
Dan dukungan penuh dari masyarakat
Dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengajak rekan-rekan guru dan seluruh masyarakat pendidikan untuk bersama-sama mengawal proses pendidikan kita, tetap bekerja dengan jujur, ikhlas dan sungguh-sungguh, sebagai mana amanat kepala daerah, sayangi dan kasihi generasi muda kita, agar kita yakin menyerahkan warisan tanggungjawab ini kepada mereka kelak. Amin…..
Komentar