KabarNTB, Sumbawa Barat – Wakil Bupati Sumbawa Barat, Fud Syaifuddin menyatakan persoalan Guru Tidak Tetap (GTT) dan Guru Honorer serta PTT dibidang lain yang saat ini menjadi polemik di NTB, merupakan imbas lain yang tidak diperhitungkan sebelumnya akibat peralihan kewenangan dibidang pengelolaan SMA/SMK dan sejumlah bidang lain dari kabupaten/kota ke Provinsi.
Kepada KabarNTB, di Taliwang, Rabu 10 Mei 2017, Wabup menyatakan, Pemprov NTB harus segera bersikap agar persoalan ini tidak berlarut-larut dan para GTT, guru kontrak serta tenaga honor bidang lain itu tidak menjadi korban.
Ia mengaku, dalam pertemuan dengan Sekretaris Daerah (Sekda) NTB pekan lalu, telah meminta agar Pemprov NTB bersama daerah lain di Indonesia bersatu untuk mendesak MK segera menerbitkan keputusan atas judicial review Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang mengatur tentang peralihan kewenangan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi itu.
Karena persoalan ini dialami seluruh daerah di Indonesia, jadi pemerintah daerah , kata Wabup, perlu bersatu, sambil mengintensifkan komunikasi dengan Pemerintah Pusat bahwa pengalihan kewenangan ini menimbulkan banyak masalah. Bukan hanya soal peralihan aset, tapi juga menyangkut tenaga kerja yang selama ini tercover di APBD Kabupaten/Kota menjadi terbengkalai setelah dialihkan ke Provinsi karena tidak adanya anggaran.
Persoalan ini, kata Wabup, jangan dijadikan sebagai masalah provinsi, tetapi masalah bersama agar tidak timbul gap antara provinsi dengan kabupaten/kota. Tapi ini adalah persoalan provinsi yang harus dibawa ke Pusat agar segera ada penyelesaian.
“Kalau Pemprov NTB menginginkan Kabupaten/kota ikut terlibat, kami dari KSB siap mendampingi dalam berkoordinasi. Kalau sudah ada kepastian, Pemerintah Pusat bisa dimintai komitmennya untuk memback up persoalan ini,” katanya.
Sikap Pemprov NTB, menurutnya penting agar segera ada solusi bagi para guru kontrak dan GTT, serta pegawai honorer dibidang lainnya. baik dari segi statusnya apakah akan tetap berlanjut untuk diberdayakan, maupun dari segi kejelasan tentang honor mereka yang belum terbayar karena hingga sekarang belum mendapatkan SK pengangkatan pasca peralihan.
Yang perlu diingat, kata Wabup, persoalan ini tidak hanya berimbas pada Pemprov, tetapi juga terhadap kabupaten/kota, karena sebagaian besar GTT dan guru honorer serta pegawai honorer bidang lain itu berada di kabupaten kota. Di KSB saja jumlah guru kontrak, GTT SMA/SMK dan pegawai honorer bidang lain yang beralih sebanyak 300 orang lebih.
Sementara se NTB, jumlahnya mencapai angka 14 ribu orang lebih. Kalau digaji dengan APBD provinsi, maka per tahun Pemprov NTB mesti mengalokasikan anggaran sekitar Rp 128 miliyar lebih.
“Persoalan ini menempatkan kabupaten / kota dalam posisi dilematis. Disatu sisi mereka juga rakyat kami, tapi disisi lain kita tidak bisa mengambil langkah apapun karena tidak lagi punya kewenangan. Jadi yang terpenting adalah segera komunikasikan dengan Pusat bahwa pengalihan ini menimbulkan masalah, salah satunya terhadap status tenaga kerja (GTT PTT Guru Kontrak),” timpalnya.
Selain persoalan menyangkut kepastian status dan gaji, peralihan kewenangan ini, kata Wabup, juga berimbas pada tidak maksimalnya pengawasan di berbagai bidang yang kewenangannya beralih. Ia mencontohkan dibidang Pendidikan, dimana Provinsi hanya menempatkan dua sampai tiga orang ditiap kabupaten / kota di UPTD.
Padahal jumlah SMA/SMK yang mesti diawasi jauh lebih banyak dari jumlah personil yang ditempatkan. Begitu juga dibidang kehutanan dan ESDM. Akibatnya, pengawasan sekolah, pengawasan hutan, juga penerbitan berbagai ijin untuk kegiatan pertambangan di kabupaten kota tidak maksimal, bahkan tanpa sepengetahuan pemerintah kabupaten/kota, meski dampaknya yang merasakan langsung adalah kabupaten/kota itu sendiri.
Terkait rencana Pemprov NTB untuk melaksanakan tes ulang terhadap GTT, Guru Kontrak dan tenga honor bidang lain itu, Wabup menyatakan Pemerintah Provinsi harus berpikir bijak bagaimana agara yang telah diambil alih dari kabupaten/kota diharapkan agar bisa akomodir semua.
Kalaupun terpaksa harus ada seleksi ulang, harus diprioritaskan GTT, guru kontrak, dan tenaga honorer yang sudah ada.
“Jangan yang ikut tes orang lain dari luar yang sudah ada. Atau misalnya kuota honorer hanaya tujuh ribu orang, yang diambil seluruhnya dari Lombok dan ditempatkan di kabupaten/kota sementara yang ada disini tidak diberdayakan. Indikasi ini sudah terjadi di Kehutanan. Ada tenaga lain direkrut, sementara ada honorer yang sudah lama bekerja tidak dipakai,” tegas Wabup.(EZ)
Komentar