Sumbawa Besar, KabarNTB
Perjalanan ibadah haji di Indonesia telah berlangsung sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Kala itu, persiapan keberangkatan sudah dimulai sejak bulan Rajab.
Penyelenggaraan haji secara umum pada masa kolonial dapat dilihat mulai tahun 1912. Perkembangan ekonomi dan perluasan infrastruktur pada waktu itu sudah cukup baik dan memudahkan akses calon jemaah haji pribumi untuk berangkat melalui embarkasi Pelabuhan Tanjung Priok.
Dalam buku bertajuk Penyelenggaraan Ibadah Haji Hindia Belanda sejak Liberalisasi hingga Depresi Ekonomi karya Fauzan Baihaqi yang dikutip detik.com dikatakan, jemaah haji di daerah-daerah Jawa bagian barat juga mengalami peningkatan dari 5.987 pada tahun 1912 menjadi 8.632 pada tahun 1913.
Para jemaah haji bertolak ke Tanah Suci menggunakan kapal. Perjalanan dari Batavia ke Jeddah menggunakan kapal uap memakan waktu paling lama 49 hari dan pada abad ke-20 perjalanan dengan kapal uap hanya memakan waktu antara 19-25 hari. Ini jauh lebih cepat daripada menggunakan kapal layar.
Dalam sumber lain disebutkan, perjalanan haji dari Pelabuhan Tanjung Priok hingga Jeddah memakan waktu berbulan-bulan.
Persiapan keberangkatan haji masa kolonial dimulai sejak bulan Rajab hingga Zulkaidah. Total dari keberangkatan hingga kepulangan bisa sampai 6 bulan. Jemaah haji yang sampai terlebih dahulu menunggu di sana hingga tiba Hari Raya Idul Adha atau 10 Zulhijah.
Beberapa kloter terakhir haji baru berangkat dari Hindia Belanda pada bulan Syaban atau awal Ramadan dan kadang kapal haji baru berlabuh di Jeddah ketika memasuki bulan Ramadan atau selambatnya bulan Syawal.
Sering terjadi para jemaah haji pribumi merayakan dua hari raya di Makkah, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Pada masa kolonial, bulan Ramadan telah masuk pertengahan musim haji, yakni 2 bulan menjelang haji (Zulhijah), menurut catatan Howard M Federspiel dalam Sultans, Shamans and Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia.
Dalam perkembangannya, kapal-kapal untuk angkutan haji sering terinfeksi penyakit menular dan ada indikasi tidak sehat bagi para jemaah. Menurut laporan haji tahun 1912 yang termuat dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, dari 18.535 pribumi yang berangkat haji, 2.634 di antaranya meninggal dunia.
Pada musim haji berikutnya, terjadi kenaikan jumlah jemaah haji yang meninggal dunia. Tercatat, sebanyak 3.158 orang meninggal dunia atau sekitar 12 persen dari 26.321 total jemaah haji.
Sebelum musim haji 1912/1913, Pemerintah Hindia Belanda mengharuskan jemaah haji pribumi naik kapal-kapal milik Kongsi Tiga. Mereka berangkat dari embarkasi pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda. Sebanyak 10.902 jemaah berangkat dari embarkasi Tanjung Priok, 7.731 jemaah dari Padang, dan 61 jemaah dari embarkasi Pelabuhan Singapura.
Pada masa itu, jemaah memiliki beberapa alternatif dalam perjalanannya menuju Jeddah. Pertama, menggunakan kapal haji yang berangkat dari salah satu pelabuhan embarkasi di Hindia Belanda. Kedua, menggunakan kapal haji yang beroperasi di Semenanjung Malaya dan berangkat dari pelabuhan embarkasi Singapura atau Penang.
Jemaah juga bisa berangkat dari Hindia Belanda menggunakan Kapal Pos lalu transit di Kota Bombay atau Suez. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan kapal lain menuju Pelabuhan Jeddah.
Setelah musim haji 1912-1913 Pemerintah Hindia Belanda mulai membuka kesempatan bagi perusahaan lain untuk memberikan layanan pengangkutan jemaah haji.
Jumlah jemaah juga mengalami peningkatan. Tercatat pada tahun 1921, jemaah haji yang berangkat dari embarkasi Pelabuhan Tanjung Priok berjumlah 23.665 dari total 28.795 jemaah Hindia Belanda dan 5.310 jemaah lainnya berangkat dari embarkasi Pelabuhan Padang.
Sebelum diakomodir oleh pemerintah, jemaah haji pribumi berangkat ke Tanah Suci dengan menumpang kapal-kapal kompeni VOC dan kapal-kapal dagang Inggris meskipun hanya sampai India atau Teluk Aden.
Suasana keberangkatan haji masa Hindia Belanda juga ramai seperti sekarang. Para jemaah diantar oleh teman dan kerabat menuju pelabuhan hingga mereka berangkat.
Seperti digambarkan oleh R.A.A Wiranata Koesoma yang naik haji tahun 1924 menggunakan kapal milik maskapai Rotterdamsche Llyod, yakni Kapal Surakarta di embarkasi Tanjung Priok.
“Poekoel sepoeloeh tibalah saja dalam kapal Soerakarta, saja dapati telah tersedia seboeah kamar jang bagus bagi saja. Tatkala hendak berangkat kelihatan poela sahabat dan kenalan jang mengantarkan sampai ke Tandjungperiuk, berdesak-desak di pangkalan dekat kapal itoe berlaboeh. Sajang benar tiada sekaliannja mereka diizinkan naik ke kapal. Seakan-akan tiada hendak habis-habisnja orang mengutjapkan selamat djalan, hingga semaraklah perdjalanan saja ke loear negeri jang pertama itoe,” cerita R.A.A Wiranata Koesoma dalam tulisannya yang bertajuk Perdjalanan Saja ke Mekah (1925). (Sumber : detik.com)
Komentar