Jakarta, KabarNTB
Ada yang jarang diketahui tentang Fahri Hamzah dan peristiwa reformasi 1998. Kata Fahri, meski peristiwa itu sudah berlalu seperempat abad, tapi tidak banyak yang tahu “nyali” yang berapi-api dari dalam dirinya berasal dari sebuah kampung di Provinsi Nusa Tenggara Barat. “Itu orang yang mungkin jarang tahu tentang saya, bahwa kita ini kalau dibilang orang kampung, kampungnya itu kampung beneran. Bukan kampung kota, kampung betul-kampung kampung, kampung yang jauh dari kota, bahkan tidak ada kota di Pulau Sumbawa saat itu, yang ada kabupaten,” kata Fahri dalam wawancara khusus bersama Kompas.com di Taliwang Heritage, Depok, Jawa Barat, Rabu (17/5/2023).
Fahri berasal dari Kecamatan Utan, Sumbawa, pulau terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tapi layaknya daerah timur di masa orde baru, NTB “begitu-begitu saja” di masa muda Fahri. Niatnya merantau ke pusat kota pun sebenarnya bukan Jakarta. Tujuan utamanya adalah Bandung, Intitut Teknologi Bandung adalah kampus impiannya.
“Nah, ingin kuliah di Bandung, karena saya mengidolakan ITB terutama karena saya suka membaca buku-buku terbitan dari Pustaka Salman di Bandung, sejak SMA saya baca buku-buku mereka,” imbuh dia. Tapi sebagai anak pelosok, mimpi awalnya dibangun bukan langsung di tanah Jawa, dia merantau ke Pulau Lombok. Dia kemudian menjadi mahasiswa Universitas Mataram selama dua tahun sebelum akhirnya mencoba peruntungan di Jakarta.
Empat bulan menjalani bimbingan belajar, Fahri diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
“Masuk UI itu kita minoritas benar-benar, yang namanya orang NTB di UI itu hampir enggak ada. Ada 1 di atas saya, ada 1 di bawah saya, enggak ada (yang lain),” imbuh dia.
Terbalik dengan kebiasaan orang-orang kota, Fahri justru bisa percaya diri karena merasa sendiri.
Ia mulai bertemu dengan tokoh-tokoh nasional berkat jaket almamater kuningnya. Nongkrong di rumah sastrawan WS Rendra adalah rutinitas, jadi santri Gus Dur (Abdurrahman Wahid) di Ciganjur juga dia lakoni, berguru pada Nurcholis Majid juga Fahri tekuni.
Dari situ, Fahri membangun jaringan, mulai membentuk gerakan-gerakan mahasiswa Islam yang akhirnya menelurkan organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Saat reformasi, dia menjadi salah satu orator yang berapi-api, meminta Presiden Soeharto lengser dari kursi. Dari mana nyali itu muncul? Fahri menyebut nyalinya adalah nyali orang kampung.
“Kalo nyali ya nyali orang kampung, ya kan. Orang kampung hidup di alam. Prinsipnya kita selalu nggak merasa aman, kalau orang kota kan umumnya cari aman karena hidupnya di antara hutan-hutan beton, air conditioner dan sebagainya hahaha,” kelakar Fahri. (Sumber : Kompas.com)
Komentar