Komite Urus Sampah

Provinsi NTB sudah dapat PAD (pendapatan asli daerah) dari sampah. Itu saya tahu dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB, Julmansyah.

“Target PAD dari pengelolaan sampah sebesar Rp 10 miliar di tahun 2022. Yang terealisasi sekitar Rp 2 miliar lebih,” ungkap Julmansyah saat kami bertemu di SMK Negeri 1 Taliwang, Selasa 18 Juli 2023 lalu.

Kepala Dinas asli Sumbawa itu sengaja diundang ke SMKN 1 Taliwang. Ia diminta mewakili Gubernur untuk membuka sekaligus menjadi pemateri di kegiatan workshop pengolahan sampah berbasis sekolah yang dilaksanakan Forum Komite SMA SMK Sumbawa Barat. Workshop itu melibatkan para ketua Komite, Kepala Sekolah dan perwakilan siswa dari seluruh SMA/SMK yang ada di KSB. Tujuannya, untuk mencapai Kolaborasi Sinergi Operasional Pengelolaan (KSOP) sampah.

Soal PAD NTB dari sampah, nilainya memang masih kecil. Tapi keberadaan PAD itu menjadi bukti keberhasilan program hilirisasi sampah yang telah dicanangkan Gubernur-Wakil Gubernur NTB, Zulkieflimansyah – Sitti Rohmi Djalillah, sejak 2018, tahun pertama mereka menjabat. “Saya sudah cek RPJMD NTB di beberapa periode kepemimpinan NTB sebelumnya, tidak ada program khusus penanganan sampah,” ungkap Julmansyah.

PAD itu didapatkan dari optimalisasi pengelolaan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dan aset lainnya yang selama ini tidur alias tak dimanfaatkan. Itu dilakukan untuk mendorong tumbuhnya ekosystem industrialisasi persampahan, sekaligus menjadi insentif untuk investor. Sejumlah TPA yang dulunya tidak berfungsi maksimal direvitalisasi. Truk-truk sampah yang masuk membawa sampah dari berbagai tempat dicharge alias harus membayar biaya jasa layanan pengelolaan sampah di TPA. DLH dibawah kepemimpinan Julmansyah juga membentuk UPT – BLUD yang mengelola TPA Kebon Kongok di Lombok Barat. Karena pemerintah bukan operator sampah dan tidak memiliki kompetensi mengelola fasilitas pengolahan yang ada, pihak ketiga (swasta) lalu digandeng untuk bekerjasama. Para investor ini difasilitasi dan diberi kemudahan dalam proses perijinan hingga operasional.

Aktifitas di TPA Sampah Raberas di Sumbawa

Dari kerjasama itu, di Lombok sekarang sudah berdiri beberapa pabrik pengelolaan sampah menjadi produk bernilai jual. Lombok bahkan memiliki pabrik bata plastik (ecobrik) pertama di Asia yang dibangun sejak 2021 di STIPark (Science and Technology Industrial Park) Banyumulek Lombok Barat. Investornya BlockSolutions asal Finlandia bersama Circular Economy Investor yang bergerak dalam investasi lingkungan dan perusahaan lokal daerah serta BUMD. Nilai investasi pabrik ini cukup besar, yakni 2,5 juta dolar Amerika.

Pabrik pengolahan sampah lainnya yang sudah beroperasi adalah pabrik pengolahan sampah plastik menjadi geo disel (solar) dengan sistem Pirolisis. Pabrik ini juga berlokasi di kompleks STIPark Banyumulek. Mesin pabrik dengan bobot 20 ton mampu mengolah 1 ton sampah plastik dan menghasilkan solar sebanyak 400 sampai 600 liter per hari.

Sementara pabrik yang sedang persiapan operasi adalah pabrik penghasil RDF (refuse derived fuel) di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) TPA Regional Kebon Kongok. RDF biasa digunakan menjadi campuran batu bara untuk bahan bakar di PLTU. Ada pula incenaretor yang dikelola kembali khusus untuk pengolahan sampah B3 dan TPST Lingsar yang khusus mengelola sampah organik.

Selain optimalisasi aset dan kerjasama dengan pihak ketiga, Pemprov NTB bekerjasama dengan asosiasi penyelenggaran event (EO), juga menerapkan kebijakan ‘Nol Sampah Event’. Setiap event bertaraf lokal, nasional, bahkan internasional yang diselenggarakan di berbagai tempat di daerah ini, penyelenggaranya diwajibkan menyiapkan Satgas khusus pengelola sampah. Ketika event berakhir sampah sudah bersih. Kebijakan ini juga berkaitan erat dengan sektor pariwisata yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian NTB. Wisatawan tak mungkin datang ke destinasi yang dipenuhi sampah.

“Keberadaan pabrik, fasilitas pengolahan terpadu dan kebijakan Nol Sampah Event ini tidak hanya menghasilkan PAD tetapi juga mampu mereduksi volume sampah. Sebelumnya dari total volume sampah NTB hanya 20 persen yang dikelola, sejak program hilirisasi berjalan, volume sampah yang dikelola naik menjadi 58,9 persen. Sisanya yang sekitar 42 persen yang tercecer kemana-mana. Tingkat partisipasi masyarakat untuk mengelola sampah juga naik. Itu terlihat dari jumlah bank sampah mandiri, rumah magot dan komunitas sampah meningkat signifikan di Pulau Lombok,” urai Julmansyah.

Di tataran birokrasi, pengelolaan sampah memang butuh komitmen kuat pemimpin daerah, termasuk dalam hal penganggaran. Ini penting agar program pengelolaan sampah bisa berkelanjutan. Itu juga yang dilakukan gubernur dan wakil gubernur NTB. Mereka menggunakan sebagian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk program pengelolaan sampah. NTB memang menjadi daerah penghasil tembakau. Kualitas tembakau yang ditanam petani di Lombok Timur, adalah yang terbaik di dunia. Berkahnya, bukan hanya Lombok Timur yang dapat untung. Daerah lain di NTB, termasuk pemerintah provinsi, ikut kecipratan. Setiap tahun setiap daerah di provinsi ini mendapat bagian dari DBHCHT yang disetor langsung ke Kas Daerah. Tiap daerah nilainya miliaran rupiah. Semakin tinggi cukai tembakau, akan semakin mahal harga rokok dan semakin tinggi pula nilai DBHCHT yang digelontorkan pusat ke daerah. Dana ini pemanfaatannya diatur dengan Permenkeu (Peraturan Menteri Kuangan). Salah satu item yang bisa dibiayai adalah pengelolaan sampah.

“Sebagian dana tersebut bisa digunakan untuk program pengelolaan sampah. Tergantung kebijakan kepala daerah masing-masing,” kata Julmansyah.

Lalu bagaimana dengan daerah di Pulau Sumbawa yang hanya punya TPA tapi belum memiliki fasilitas berupa pabrik pengolahan atau TPST? Untungnya di Pulau ini banyak pihak yang memiliki kesadaran tinggi untuk mengelola sampah. Bukan dari kalangan pemerintah, tapi dari komunitas peduli lingkungan, pihak sekolah, bahkan perorangan. Hambatan kultural berupa sikap dan perasaan gengsi mengurus sampah, nampaknya sudah tidak berlaku untuk sebagian kecil komponen masyarakat di pulau ini. Forum Komite SMA SMK KSB misalnya. Ini mungkin forum komite pertama di Indonesia yang tidak hanya mengurus masalah berkaitan dengan keterlibatan orang tua siswa dan masyarakat dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, tapi juga mengurus sampah. Ketuanya adalah Mustakim Patawari yang basicnya adalah politisi, tidak punya riwayat samasekali berurusan dengan sampah.

Sebagai politisi, di Sumbawa Barat Mustakim cukup dikenal. Ia menjadi anggota DPRD dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di periode 2004 – 2009 dan terpilih kembali untuk periode kedua di Pemilu 2009 untuk masa jabatan 2009-2014. Tapi di periode kedua itu ia hanya kurang dari setahun menjabat. Ia memilih mundur dari PKS dan dari DPRD karena persoalan Pilkada. Padahal saat itu ia menjabat sebagai Pimpinan DPRD. Di Pemilu 2014 Mustakim kembali mencalonkan diri, tidak lagi lewat PKS, tapi partai Demokrat. Ia terpilih lagi dan menjabat satu periode penuh, 2014 – 2019. Mustakim baru gagal melenggang ke DPRD Sumbawa Barat di Pemilu 2019. Tapi sebagai petarung, tidak ada kata menyerah. Di Pemilu 2024 mendatang, ia sudah mendaftar kembali sebagai Bacaleg. Kali ini Ia memilih balik kandang ke PKS. Konon Gubernur NTB, Zulkieflimansyah yang menjadi pengurus DPP PKS punya peran besar sehingga Mustakim kembali ke partai dakwah itu. Sang Gubernur juga sekaligus memberi tanggungjawab kepada Mustakim sebagai tenaga ahli urusan policy (kebijakan), khusus masalah Zero Waste yang salah satu tugasnya adalah mengurus sampah.

Mustakim lalu menghimpun para ketua Komite SMA SMK, para kepala sekolah beserta siswa mereka, juga komunitas peduli lingkungan yang selama ini berkiprah intensif mengelola sampah di Sumbawa Barat. Mereka membentuk komunitas baru yang diberi nama ‘Komunitas Pariri Roro’. Dalam bahasa Taliwang dan Sumbawa, pariri adalah mengurusi dan roro adalah sampah. Jadi komunitas itu berisi orang-orang dan komponen masyarakat yang punya kepedulian mengurusi sampah, mengelolanya dan menjadikannya produk bernilai. “Gagasan besarnya, pengelolaan sampah ini tidak hanya berbasis SMA SMK, tetapi menyeluruh sampai tingkat SD SMP bahkan tingkat TK dan Paud,” urai Mustakim.

Salah satu komunitas yang dirangkul adalah Komunitas Hijau Biru yang berpengalaman panjang dalam urusan persampahan dengan melibatkan sekolah. Komunitas ini, bersama sekolah yang didampingi bahkan telah menghasilkan produk pupuk organik dari sampah yang diberi label ‘POSKA’ alias Pupuk Organik Sekolah Kita. POSKA tidak hanya dimanfaatkan oleh komunitas dan sekolah, tetapi sudah dipasarkan. Tiap tahun POSKA diorder sampai ratusan ton untuk kegiatan reklamasi di tambang Batu Hijau. Pemasaran POSKA juga sudah melebar hingga Kabupaten Dompu dan berbagai lapisan masyarakat.

“KSOP yang menjadi tujuan besar dari gerakan ini adalah terbangunnya sebuah sistem di sekolah dan di masyarakat yang bermuara pada sinergitas dalam pengelolaan sampah. System yang baik akan memaksa setiap orang untuk menghindari perbuatan buruk. Dalam konteks sampah sistem ini akan mempengaruhi perilaku para siswa di sekolah dan masyarakat menjadi lebih bijaksana terkait sampah. Karena urusan sampah ini butuh kerja bersama tidak terbatas pada komunitas dan sekolah saja, tetapi semua pihak,” imbuh Mustakim.

Kabupaten Sumbawa Barat sendiri sebenarnya punya pengalaman mumpuni dalam hal persampahan. Daerah ini pada tahun 2021 lalu ditetapkan pemerintah pusat dan meraih rekor MURI sebagai kabupaten pertama di Indonesia yang tuntas lima pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Lima pilar STBM tersebut seluruhnya identik dengan sampah. Pilar pertama stop buang air besar sembarangan berhasil dicapai KSB pada tahun 2018. Pilar kedua cuci tangan pakai sabun dicapai pada 2019. Pilar ketiga pengelolaan air minum – makanan rumah tangga juga tahun 2019. Pilar keempat pengelolaan sampah rumah tangga dan pilar kelima pengelolaan limbah cair rumah tangga dicapai pada akhir 2020.

Masalahnya, urusan sampah juga berkaitan dengan pola fikir serta perilaku masyarakat. Jika masyarakat tidak punya cukup kesadaran tentang sampah yang berpengaruh buruk terhadap lingkungan dan sektor lain seperti pariwisata, maka mustahil perilaku hidup sehat dan bersih yang menjadi roh lima pilar STBM itu akan tetap dipertahankan. Merubah pola fikir dan perilaku masyarakat ini yang masih menjadi PR besar pemerintah daerah di Sumbawa Barat, juga pemerintah daerah lainnya di seluruh Indonesia.

Artinya kita tidak hanya butuh lebih banyak komunitas dan personal yang sudah terbebas dari hambatan kultural tentang sampah, tetapi juga butuh masyarakat yang peduli dan terikat dalam satu sistem yang mampu mencegah mereka berbuat buruk terkait sampah. Sayang kalau predikat sebagai kabupaten pertama di Indonesia yang tuntas lima pilar STBM plus rekor Muri itu hanya tercatat di kertas belaka, namun tidak nampak di sepanjang aliran sungai, selokan dan pemukiman warga.(Hairil Zakariah)

 

Komentar