Sebagai kader yang menjadi anggota DPRD dari PKS, kami diberi amanah tambahan menjadi ‘da’ i parlemen’. Bukan sekedar label, amanah itu wajib kami laksanakan dengan mempedomani tiga AMAN : Aman Syar’i, Aman Konstitusi dan Aman Citra.
Rujukan utama dalam menjaga aman syar’i tentu saja Al Qur’an dan Hadist. Sementara Aman Konstitusi mempedomani UUD 45 dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas pokok dan fungsi DPRD. Sedangkan untuk menjaga Aman Citra tentu saja terinspirasi dan mempedomani tagline ‘Bersih, Peduli dan Profesional’ yang disarikan dari doktrin dan manifesto PKS.
Dalam prakteknya, kerja kerja politik dan juga implemmentasi fungsi dan peran sebagai kader partai di DPRD tidak selalu berjalan mulus. Kami, saya dan dua orang kolega saya di DPRD dari PKS, bahkan sering kali berhadapan dan bergesekan dengan euforia maupun pragmatisme yang kadang muncul baik dari internal maupun eksternal DPRD.
Tidak jarang pandangan sinis dan juga keras dialamatkan pada fraksi kami, khususnya pada saya, akibat belum tumbuhnya sikap saling menghargai. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat sebagai daerah baru hasil pemekaran, para anggota DPRD juga baru dengan latar belakang yang beragam.
Kerja kerja awal periode DPRD KSB pertama sangatlah padat, penuh dinamika dan menantang. Yang paling saya rasakan sebagai tantangan adalah adanya situasi yang mengharuskan saya berbeda dengan arus utama (mainstream). Kala itu begitu kental nuansa mengelu elukan figur dan juga penonjolan kelompok tertentu yang seakan akan mendapat previlage untuk memimpin KSB. Kesan itu begitu kental dan merupakan episode lanjutan dari ‘pengambilalihan kepengurusan KPKSB (Komite Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat) dari pengurus sebelumnya yang dipimpin Ustadz Drs HM Nur Yasin. Gelagat pengambilalihan itu terlihat di kegiatan diskusi Panel dalam rangka PENA MAS dengan tema; Akselerasi Pembantukan KSB. Saya menjadi moderator pada kegiatan diskusi tersebut.
Pilihan berbeda yang saya ambil tentu saja sejalan dengan pilihan politik PKS kala itu untuk ikut kontestasi Pilkada pertama dengan mengusung kader inti partai yaitu Andi Azizi Amin. Ada banyak peristiwa menarik dan juga memberi pelajaran berharga bagi proses pendewasan politik dan juga kedewasan dalam memaknai demokrasi, yang memberi penekanan pada kebebasan berbicara dan juga kemerdekaan dalam bersikap.
Yang paling menarik pada fase ini adalah ketika menyampaikan interupsi pertama pada paripurna penyampaian visi dan misi pasangan calon kepala daerah. Saat itu adalah momentum paripurna yang bersejarah, karena untuk pertama kali KSB akan memasuki babak baru sebagai kabupaten baru, memilih kepala daerah (bupati – wakil bupati) melalui Pilkada pertama tahun 2005.
Ada 5 pasangan calon, berarti ada 10 putra putra terbaik dengan latar belakang yang berbeda dan tentu saja dengan rekam jejak yang bisa ditelusuri. PKS saat itu dengan tiga kursi DPRD (15 %) bisa mengusung sendiri pasangan calon. Partai memutuskan mengusung paket Andi Azizi Amin – Muhsin Hamim (Andi – Muhsin). Awalnya Andi Azizi Amin akan berpasangan dengan DGH Zulkifli Daud sebagai calon wakil bupati. Namun di pertengahan proses pencalonan, DGH Zulkifli Daud mundur sebagai calon wakil bupati karena satu dan lain hal.
Suasana hangat dalam kontestasi itu terasa seakan megerucut pada 2 dari 5 pasangan calon, yaitu pasangan KH Zulkifli Muhadli – Mala Rahman (ZM) dan Andi Azizi Amin – Mukhsin Hamim (AM). Setidaknya itu yang saya rasakan, meski terkesan subjektif atau itu semacam persepsi saja. Akan tetapi jika dilihat dari realita saat itu bisa juga dijelaskan secara objektif.
Dalam konteks pertarungan ide dan gagasan yang menjadi warna utama dari pasangan yang diusung PKS, kami di internal DPRD tentu harus bisa mengikuti irama dan juga memberi warna serta nuansa kualitatif, daripada sekedar berbeda. Fraksi PKS dituntut mampu menjaga pasangan yang diusung dan pada saat yang sama ada harapan untuk cermat dan kritis terhadap pasangan lain.
Dalam semangat itulah interupsi pertama kali saya sampaikan di Sidang Paripurna DPRD.
Interupsi yang saya sampaikan adalah meminta klarifikasi sekaligus usulan kepada pimpinan sidang. Point atau substansi klarifikasi berkaitan dengan isi visi-misi salah satu pasangan calon, dimana saat dibacakan ada program “mencetak Doktor setiap tahun” dengan jumlah 10 orang per tahun. Untuk kabupaten yang baru berumur satu tahun, jumlah tersebut tentu sangat fantastis. Program itu disampaikan dengan penuh semangat oleh calon bupati ketika membacakan visi misi dihadapan para legislator dan masyarakat yang hadir di paripurna. Bagi saya pribadi, program tersebut agak berlebihan memang dan secara logika hal itu mustahil direalisasi.
Saat sang calon pidato di podium, saya secara cermat membuka lembar demi lembar dokumen yang dibagikan, Namun saya tidak menemukan teks (tertulis) program yang disampaikan itu. Itulah sebabnya pada kesempatan itu saya spontan menyampaikan permintaan waktu kepada Ketua DPRD yang memimpin sidang untuk interupsi.
“Ijin pimpinan yang terhormat..” sekilas nampak pimpinan sidang tidak bisa menyembunyikan kekagetannya, sekaligus ada keraguan apakah memberikan waktu atau tidak bagi saya untuk interupsi, mengingat calon yang sedang menyampaikan visi misi itu adalah jago yang diusung partai ketua DPRD.
Setelah beberapa kali saya meminta, akhirnya kesempatan diberikan. “Begini pimpinan, saat calon bupati tadi menyampaikan visi- misi, saya bolak balik buka dokumen ini (sambil mengangkat), pada point yang disampaikan secara lisan soal mau cetak doktor, saya tidak temukan di dokumen ini. Jadi tolong bantu saya tunjukkan di halaman berapa, jika memang ada. Tapi bila tidak ada (karena memang tidak ada ) dan apabila program itu tetap mau dimasukkan, saya usul agar masuk dalam notulen rapat ini serta harus dimasukan dalam revisi dokumen visi – misi. Ini penting mengingat ini adalah dokumen resmi yang akan menjadi rujukan serta akan dipertanggungjawabkan sebagai janji atau hutang politik yang harus ditunaikan jika saja pasangan itu terpilih,” urai saya panjang lebar.
Yang menarik, dengan adanya interupsi tersebut, suasana baik di dalam maupun di luar ruang sidang sedikit tegang. Bahkan beberapa oknum yang teridentifikasi sebagai pendukung pasangan calon yang saya interupsi memperlihatkan sikap arogan dan emosi karena tidak terima jagoannya diinterupsi. Bahkan dari calon sendiri nampak keberatan. Wajar jika ada sikap seperti itu, karena seumur umur sebelum terjun ke kancah politik praktis, mana ada cerita atau pengalaman seorang Kyai diinterupsi.
Itulah momentum pertama seorang tokoh yang dielu elukan dan diposisikan ‘sempurna’ dalam persepsi pendukung dan publik mendapat kritikan atau masukan. Interupsi itu menjadi salah satu pemicu menghangatnya suhu dan meningkatnya tensi politik Pilkada 2005. Apalagi yang menginterupsi adalah saya, politisi dari parpol pengusung Andi Azisi Amin yang menjadi lawan Sang Kyai di Pilkada.(*)
Komentar