Berlari merupakan separuh rute antara ritual dan impuls bagiku, panggilan yang aku harus selalu tanggap, masa bodoh betapa tak sedianya diriku – Larissa Pham
Kuyu menjerat tubuh Ahmad Bayhaqi setelah hampir sepekan gejala COVID-19 menyerang. Awal 2021, pandemi mengganas di setiap sudut kota. Saat itu, Bayhaqi salah satu dari jutaan manusia yang terdampak virus Corona. Beruntung, hanya perlu tiga hari sampai hasil tes usap menegaskan pria asal Kota Bogor itu sudah negatif. Namun lemas tak juga luntur dari badannya.
Hingga pada suatu pagi, Bayhaqi memfungsikan kembali sepatu olahraga lawas miliknya. Jersey bola klub kesayangannya sudah rapi terpakai. Celana training hitam agak kebesaran tak luput melengkapi setelannya. Bayhaqi mulai berlari. Memaksa tubuhnya untuk bergerak lebih aktif, merasa hidup kembali. Ia terus berlari.
Tak terasa lima kilometer ditempuh. Diselingi banyak jalan kaki tentu saja. Namun ia merasa segar. Napasnya mampu membenam lebih dalam. Kepalanya terasa enteng. Keringat yang bercucuran di tubuhnya, selaiknya hujan pada gurun yang gersang. Tubuhnya seperti baru disetel ulang. Pagi itu, di area kampus IPB Bogor yang penuh pepohonan rindang dan trek lari yang ciamik. Bayhaqi jatuh hati pada olahraga lari.
“Dibandingkan olahraga lain, ya lari itu gua pilih karena simpel aja gitu. Lu enggak butuh orang lain buat mainnya. Kayak minimal bulutangkis, kan, butuh dua orang, tetapi kalau lari bisa langsung,” ujar pria berusia 26 tahun itu kepada Tirto, Selasa (11/12/2024) malam.
Sejak momen itu, Bayhaqi semakin rutin menggeluti olahraga lari. Dalam sepekan, ia empat hari setidaknya meluangkan waktu untuk lari. Rute andalannya ada tiga: kompleks kampus IPB, Kebun Raya Bogor, dan area kampus Universitas Indonesia, Depok.
Lari, kata Bayhaqi, sudah menjadi metode eskapisme diri agar tak terjatuh dalam kemalasan dan tubuh yang loyo. Hingga hari ini, pria yang bekerja sebagai konsultan bisnis itu masih menyempatkan berlari di tengah kesibukannya. Pagi hari, sebelum ia bertatap muka dengan laptop yang penuh tuntutan tugas, Bayhaqi akan berlari jika cuaca tengah cerah. Ia merasa harinya dimulai dengan kemenangan jika mampu beranjak dari dipan dan turun ke jalan.
“Sejak 2021 gua pilih lari karena bisa refresh pikiran gua dan menghindari kontra-produktif tidur di pagi hari sih. Jadi ya udah gue lari terus,” kata Bayhaqi.
Lari pada hakekatnya merupakan induk dari berbagai macam olahraga. Olahraga lari seperti menemukan daya lentingnya hari ini. Di wilayah perkotaan atau urban, tak sulit menemukan orang memakai singlet atau kaos olahraga di tengah orang-orang lain yang berdandan rapi dengan kemeja atau blazer. Orang berlari, bahkan pada hari kerja. Bisanya langsung, usai pekerjaan rampung dan hasrat berolahraga menggunung.
Olahraga lari memang menemukan tanah suburnya di kalangan kelas menengah urban. Tak heran, sebab lari bukan lagi sekadar olahraga an sich, namun telah berevolusi menjadi gaya hidup. Maka amat mudah menemukan seseorang dalam daftar kawan daring di media sosial pribadi kita, yang pasti rajin mengunggah aktivitasnya berolahraga lari.
Olahraga lari hari ini sudah sepaket dengan hasrat dan tuntutan menebalkan eksistensi diri. Lewat klub atau komunitas lari misalnya, terjadi ikatan sosial yang terasa lebih hidup. Hal ini jadi semacam oase bagi manusia-manusia kota yang jenuh akan tuntutan hidup super cepat dan ikatan sosial yang terus luntur menjadi maya.
Bayhaqi misalnya, merasakan ada sederet hal positif dari eksistensi klub atau komunitas lari meskipun belum sempat bergabung secara resmi. Ia nyaman membangun relasi bersama orang dengan hobi yang sama. Itulah mengapa, kata dia, acara lomba lari seperti event fun running atau ajang maraton adalah tempat terbaik mencari kawan.
Di sisi lain, Bayhaqi tak merasa bahwa pelari yang sering mengunggah capaiannya di media sosial sebagai hal yang negatif. Sebaliknya, ia mengaku lebih banyak kecipratan sisi positif akibat fenomena itu. Bayhaqi merasa lebih terpelatuk untuk meningkatkan produktivitas dan aktivitas olahraganya jika melihat kawan di media sosial memamerkan capaian larinya.
“Dalam konteks ini, lari, itu gua jadi terpacu untuk lari juga. Apalagi ditambah weekend gua tidur atau ketiduran, dan pas lihat di HP orang sudah lari jauh, dan gua jadi merasa menyesal,” ucap Bayhaqi.
Rayhan Fadillah justru merasa sebaliknya. Pria asal Kota Malang tersebut menasbihkan diri sebagai pelari soliter. Ia lebih kerasan jika berlari sendiri. Alasannya, lebih fleksibel dan tidak harus mengikuti standar dan dorongan orang lain. Rayhan juga tak begitu minat bergabung dalam klub/komunitas lari.
“Kalau ikut komunitas, kan, otomatis menyesuaikan jadwal orang lain ya. Jadi kalau sendiri sih, kalau enggak ikutan sih bisa fleksibel bisa sendiri atau paling misal ajak 1-2 orang teman aja gitu, jadi enggak terlalu ada masa yang banyak,” ucap Rayhan yang sekarang ini tinggal di Jakarta karena bekerja di salah satu perusahaan swasta di kawasan Palmerah.
Rayhan sendiri setuju bahwa perkembangan olahraga lari hari ini begitu pesat. Pria berusia 24 tahun itu memang sudah rutin menggeluti olahraga lari sejak di bangku SMA. Semenjak tinggal di Jakarta, ia semakin rajin mengikuti beberapa acara lomba lari. Saat ini, area GBK dan Senayan adalah rute lari favoritnya. Ia rutin berlari di hari Minggu sekali dalam sepekan.
Dari kacamatanya, perkembangan olahraga lari pada kalangan kelas menengah urban tidak selalu membawa sisi positif. Misalnya, ungkap dia, sekarang olahraga lari semakin berubah menjadi olahraga mahal. Perlengkapan lari dari jenama internasional beken membuat orang tak hanya mencari kebugaran dan manfaat kesehatan olahraga, namun juga ajang bergaya.
Tidak jadi masalah, kata dia, bila memang individu tersebut mampu dan merasa perlengkapan lari dengan harga mahal akan membuatnya semakin produktif. Namun, Rayhan cenderung melihat kebanyakan justru bermuara sebaliknya. Tuntutan komunitas/klub seakan-akan jadi membebani pelari untuk mengejar standar yang sama dengan pelari lain.
“Soal performa lari gitu kan karena status orang beda-beda ya. Kemudian fisik beda-beda. Itu [harusnya] jadi ruang buat masing-masing orang improve gitu bukan malah apa namanya menyamakan standar,” ucap Rayhan. (Mochammad Fajar Nur –tirto.id)
Komentar