Sumbawa, KabarNTB – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Cabang Sumbawa, menginisiasikan adanya ide Desa untuk menetapkan Perdes tentang Perlindungan TKI asal Desa setempat. Bahkan menurut SBMI harus dianggarkan dana pemberdayaan para eks buruh migrant melalui Alokasi Dana Desa (ADD), agar dapat mengurangi angka buruh migrant yang tidak produktif.
Perdes ini penting menurut SBMI mengingat, Perda nomor 8 tahun 2015 sebagai pengganti dari Perda Nomor 21 Tahun 2007 juga dinilai belum mampu menjawab persoalan buruh migrant atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Sumbawa.
Khusus masalah Perda tersebut, kelemahannya ada beberapa hal yang tidak memenuhi harapan perlindungan tenaga kerja. Misalnya dari segi anggaran, pemerintah tidak pernah memikirkan apakah Perda tersebut akan dapat dijalankan.
“Ada dua lembaga yang dibentuk melalui Perda ini Lembaga Pelayanan Satu Pintu (LPSP) dan Komisi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (KPTKI) asal Sumbawa,” ujar Syamsuddin, dalm Focus Group Discussion (FGD) bertema Bedah Perda Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI, yang digelar di Rumah Makan Putra Jogja, Sumbawa, Jum’at (26/02/2016)
Khusus KPTKI di Sumbawa sentilnya, sebenarnya telah menjadi tolak ukur daerah lain tentang perlindungan buruh migrant. Banyak Kabupaten dari Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa mengadopsi keberadaan KPTKI di Sumbawa, tapi sejak tahun 2012 aktifitas KPKTI sudah vakum karena persoalan dana.
Karena alasan itulah sambung Syam, sehingga dibuatlah Perda baru yang salah satu isinya untuk membentuk KPTKI. Cuma yang menjadi masalah KPTKI adalah lembaga independent yang di luar Disnakertrans, tapi di KPTKI faktanya para komisionernya beberapa orang berasal dari Disnakertrans.
“Inilah yang kami anggap rancu. Jangan sampai KPTKI ini dijadikan tameng oleh Dinas. Karena Pemda sekarang kesulitan melakukan perlindungan sehingga dibentuklah KPTKI untuk menyelesaikan setiap persoalan yang sifatnya independent, tapi ada unsur PNSnya meragukan independensinya,” terang Syamsuddin.
Hasil penelusuran SBMI beber Syamsuddin, diketahui bahwa ternyata Perda ini juga tidak memiliki naskah akademik. Sehingga SBMI menganggap proses penyusunannya dilakukan asal-asalan, tanpa tinjauan dan pengkajian lebih jauh.
Sehingga, faktanya justeru tidak menjawab persoalan buruh migrant. Contohnya, angka kasus meningkat dalam setahun terjadi di atas 3000 orang.
SBMI jelas Syamsuddin, berharap paling tidak dengan FGD tersebut merekomendasikan agar Perda Nomor 8 Tahun 2015 akan diajukan legislative review dan diajukan ke Mendagri untuk dibatalkan atau ditolak.(K-1)
Komentar