Sepuluh malam terakhir pada bulan rarmadhan, merupakan moment penting yang tidak boleh diabaikan dalam seluruh rangkaian perjalanan menuju ke puncak tertinggi amal ibadah dibulan suci ramadhan, yaitu menuju hari kemenangan 1 Syawal.
Pada sepuluh malam terakhir Dalam Al Qur’an dijelaskan mengenai makna serta keistimewaan dari Malam Lailatul Qadar yaitu suatu malam yang dimana malam ini adalah merupakan malam yang memiliki keutamaan dan keistimewaan yang luar biasa, yaitu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan atau bisa juga dikatakan sebagai malam yang penuh kemuliaan.
Allah SWT dalam QS. Ad Dukhan : 3 – 5 yang Artinya : ”Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” . Selanjutnya dalam (QS. Al Qodr : 4 – 5) yang artinya Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
Karena keutamaan dan kemuliaan yang diberikan tersebut, Rasulullah SWT menghimbau kepada seluruh umat Islam agar memperbanyak ibadah, Seperti yang disebutkan dalam hadist bahwa ” Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadan dan beliau bersabda: “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” ” (HR: Bukhari 4/225 dan Muslim 1169).
Oleh umat Islam di seluruh nusantara, banyak cara yang dilakukan oleh umat muslim dalam rangka menyambut sepuluh malam terakhir di bulan ramadhan. Tradisi sepuluh malam terakhir di Madura misalnya, dilaksanakan dengan cara memperbanyak sedekah kepada tetangga. Sedekah tersebut dilakukan dengan cara membuat beraneka ragam makanan yang selanjutnya di antarkan kerumah-rumah tetangga dan tokoh masyarakat.
Tradisi tersebut oleh masyarakat madura dinamakan malam lekoran. Sementara di gresik, tradisi 10 malam terakhir disebut dengan malam likuran yaitu terdiri dari berbagai macam kegiatan seperti kolak ayam di gumeno, malam selawe di giri, pasar bandeng dll. Sementara itu di Kuripan Lombok Barat terdapat tradisi Dile Jojor. Tradisi ini hampir mirip dengan tradisi di Kabupaten Sumbawa Barat yaitu meletakkan pelita di sudut-sudut dan depan rumah setiap malam ganjil 10 malam terakhir.
Di Kabupaten Sumbawa Barat kita kenal dengan tradisi Dila Leman. Dila Leman adalah tradisi masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat pada setiap moment ramadhan yang dilaksanakan dalam bentuk menyalakan penerangan pada setiap malam ganjil di sepuluh malam terakhir. Menjelang memasuki 10 malam terakhir, masyarakat mulai di sibukkan dengan pembuatan pelita jarak (alat penerangan yang berbahan dasar buah jarak dan potongan bambu).
Pelita jarak inilah yang diletakkan di teras rumah warga setiap malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir. Fungsinya adalah untuk mengingatkan warga bahwa pada malam hari itu adalah malam ganjil yang memberikan kesempatan buat umat muslim untuk bertemu dengan malam seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qadar. Pada malam tersebut masyarakat akan terpanggil untuk melakukan ibadah sebanyak-banyaknya secara khusyu, dan berkesempatan untuk mendapatkan malam lailatul qadar.
Dalam filosopi masyarakat Sumbawa Barat, Dila leman memiliki arti dalam bahasa samawa, dila berarti pelita, alat penerangan, sedangkan leman/eman yang memiliki arti datang atau dari. Dan jika disatukan memiliki arti, alat penerangan yang diperuntukkan menyambut kedatangan sesuatu. Kedatangan sesuatu yang disambut dalam penjelasan tersebut yaitu malam lailatul qadar. Dila selanjutnya menjadi simbol petunjuk dan penerang jalan, pemberi cahaya dalam gelap.
Menggunakan media Dila sebagai pengingat malam ganjil tersebut tentu memiliki pesan yang mendalam, yaitu bahwa malam tersebut adalah malam pemberi petunjuk, penerang jiwa bagi umat muslim yang secara ikhlas, jujur dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah dibulan suci ramadhan.
Dila leman sebagai sebuah tradisi adat, oleh umat Islam di tanah Samawa Khususnya Sumbawa Barat telah diwariskan seara turun temurun dan berlaku didalam masyarakat itu sendiri. Substansi dari tradisi Dila Leman, bukan berada pada simbol Dilanya sebagai penerang, tetapi hakikat maknanya sebagai penyambung syiar tentang pentingnya sepuluh malam terakhir di bulan ramadhan.
Oleh karenanya upaya melestraikan Dila Leman sebagai sebuah tradisi khusus di bulan ramadhan menjadi sebuah catatan penting, baik itu dalam kerangka melestarikan tradisi kearifan lokal masyarakat Sumbawa Barat, juga yang tak kalah pentingnya adalah memperteguh penghayatan seluruh masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat dalam menjalankan ibadah di Bulan suci Ramadhan.
Roy Marhandra