FITRA Desak Anggota DPRRI Asal NTB Pastikan Nasib Dana Hasil Penjualan Saham PTDMB

KabarNTB, Mataram – Sekretaris Jenderal FITRA NTB, Ervyn Kaffah menyerukan agar wakil rakyat di DPR RI dari Dapil NTB (Nusa Tenggara Barat) mengambil langkah aktif untuk ikut memastikan hasil penjualan 6 persen saham tiga Pemda di NTB (termasuk dalam saham PT NNT/Newmont Nusa Tenggara) yang diakuisi oleh Group MEDCO (Arifin Panigoro) bisa segera diterima oleh daerah.

Menurutnya, sangat jelas terlihat Gubernur NTB, TGH M Zainul Majdi tidak mampu untuk bernegosiasi dengan PT. Multi Capital/PT MC (Bakrie Group – mitra PTDMB) agar segera mentransfer dana penjualan saham tersebut. Nilai transaksi 6 persen saham tersebut sampai kini tidak diketahui jumlah persisnya.

“Transaksi penjualan saham sudah beres sejak November 2016. Sudah lewat setahun lebih, namun PT. MC tidak juga mentrasfer dana tersebut. Hal ini menjadi pertanyaan masyarakat di NTB. Apalagi, sampai saat ini tidak ada kejelasan bagi publik, berapa sebenarnya nilai penjualan saham tersebut,” ujarnya, lewat siaran pers ke Redaksi, Senin 5 Februari 2018.

Ervyn Kaffah, Sekjend FITRA NTB

Merujuk pengakuan dari pihak PTNNT sendiri, Newmont telah melepas 48,5 persen kepemilikan sahamnya dengan nilai US$ 1,3 miliar, artinya nilai 6 persen saham Pemda sekitar US$ 163 juta atau Rp 2,1 triliun. Angka versi Newmont ini berbeda dengan pengakuan versi Bakrie Group yang menyebut nilai penjualan 24 persen saham mereka (termasuk 6 persen saham Pemda di dalamnya) hanya sebesar US$ 400 juta. Artinya, nilai 6 persen saham Pemda sekitar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,3 triliun. Sementara itu, informasi yang bersumber dari Pemprov NTB sendiri, nilai penjualan 6 Persen saham Pemda hanya Rp 484 miliar.

“Ada selisih yang sangat besar berdasar pengakuan tiga pihak tersebut mengenai nilai penjualan 6 Persen saham tiga Pemda di NTB. Selisih antara pengakuan NNT dan Bakrie itu sekitar Rp 800 miliar. Kalau dibandingkan dengan pengakuan Pemprov NTB, selisihnya lebih besar lagi mencapai Rp 1,6 Triliun. Sementara selisih nilai antara pengakuan Bakrie Group dengan Pemprov NTB sekitar Rp 800 miliar lebih. Harus ada penjelasan logis mengapa selisih harga penjualan bisa terjadi,” paparnya.

Karena itu, ia berharap khususnya Anggota DPR RI dapil NTB bisa mendorong adanya disclosure (keterbukaan publik) mengenai hal ini. Menurut Ervyn, tertundanya pembayaran hasil penjualan saham tersebut diduga ada kaitannya dengan pelaksanaan kewajiban PT. MC pada pihak lain karena saat membeli 24 persen saham divestasi Newmont bersama Pemda, sumber dana berasal dari pinjaman dengan jaminan saham tersebut.

Sebelumnya masih kata dia, kewajiban Deviden PT. DMB (BUMD milik 3 Pemda di NTB) selama beberapa tahun juga tidak dibagikan oleh PT MC (cq. PT. MDB) karena terkait gadai saham tersebut. Deviden baru dibayarkan akhir tahun 2017.

“Jadi, ini praktek yang berulang oleh PT MC. Sebelumnya pembagian Deviden tertunda bertahun-tahun, sekarang pembayaran penjualan saham juga ditunda. Ada kerugian publik akibat penundaan pembayaran tersebut, karena dana tersebut tidak bisa digunakan segera untuk membangun,” tukasnya.

Menurut Ervyn, pemerintah perlu memikirkan pengaturan untuk mengurangi praktek menarik manfaat yang tidak seharusnya oleh perusahaan atas saham divestasi milik Pemda sebagaimana terjadi dalam kasus gadai saham Pemda di PT NNT oleh PT. MC melalui konsorsium PT MDB.

“Ini adalah area bebas nilai yang selama ini belum menjadi fokus pemerintah. Hal ini menjadi lebih substansial mengingat sekarang ini ada rencana untuk divestasi saham PT. Freeport dengan pola serupa. Jangan sampai kasus divestasi Newmont NTB terulang di Freeport Papua. Alih-alih menempatkannya sekadar sebagai aksi korporasi biasa oleh BUMD dengan pihak swasta, atau sebagai pure aksi korporasi, Pemerintah perlu menegaskan posisinya. Alasannya sangat jelas, landasan keterlibatan pihak swasta dalam kepemilikan saham yang didivestasi tersebut tidak lain adalah perintah Undang-undang. Jadi harus ada fungsi kontrol tertentu agar ruang semacam ini tidak menjadi locus berjalannya praktek rent-seeking,” tegasnya.

Lebih lanjut dikatakan Ervyn, kejelasan agenda 10 orang wakil rakyat dapil NTB di Senayan dibutuhkan untuk memastikan hal-hal tersebut, agar jelas bahwa mereka itu benar-benar bekerja untuk masyarakat NTB alias bukan seperti jagung lupa tongkolnya.(By)

iklan

Komentar