KabarNTB, Sumbawa Barat – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), KH Syamsul Ismain diberi kesempatan untuk memberikan pandangan terkait program imunisasi MR yang akan dilaksanakan kembali oleh Dinas Kesehatan KSB setelah sempat dua hari dihentikan, pada kegiatan pencangan kampanye imunisasi MR di Central kediman Bupati KSB, Selasa 7 Agustus 2018.
Kyai Syamsul menyatakan MUI KSB pada prinsipnya sangat mendukung program imunisasi sebagai salah satu ikhtiar untuk menciptakan anak yang sehat dan cerdas.
“Kami MUI dari pusat sampai daerah mendukung sejuta persen imunisasi agar anak sehat dan cerdas. Karena Islam juga menganjurkan kita untuk berbadan sehat, berakal sehat dan berhati sehat. Jadi jangan lagi ada yang berstatement bahwa seolah MUI mencegah atau menghalang-halangi vaksin,” ucapnya.
Ia menegaskan, bahwa salah satu tugas pokok MUI adalah menjaga kemurnian ajaran Islam, termasuk didalam persoalan makanan dan minuman yang didalamnya termasuk obat-obatan. Jadi MUI menurutnya, sangat menganjurkan vaksin. Yang dipersoalkan oleh MUI adalah zat yang menjadi pembentuk vaksin, apakah halal atau haram, karena berhubungan dengan keyakinan dan ibadah ummat Islam.
“Jadi tidak boleh dibenturkan antara Kemenkes dengan MUI. Tidak boleh ada statement bahwa MUI mencegah orang sehat. Tugas MUI itu memberi label halal. Kalau BPOM itu dari segi toyiban (baik/sehat), apakah dia baik untuk kesehatan atau tidak. Sedangkan tupoksi MUI adalah halal atau tidak halal. Karena dalam Islam itu dianjurkan halalan toiyiban, halal dan baik,” urai Kyai Syamsul.
Dalam konteks imunisasi MR, MUI KSB berpendapat, pertama bahwa dasar hukum vaksin adalah boleh jika halal dan suci. Kedua, vaksin yang haram atau najis yang mengandung babi dan lain sebagainya boleh digunakan dengan tiga syarat. Syarat itu adalah dalam kondisi darurat (sangat dibutuhkan), belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan adanya keterangan dokter yang independent yang menyatakan bahwa sampai saat ini belum ditemukan vaksin halal, hanya ada vaksin haram.
“Kalau ini yang terjadi (ada dokter dari Kemenkes yang menyatakan belum ada vaksin halal selain yang haram) maka MUI akan mengeluarkan fatwa boleh dalam keadaan darurat. Tetapi terlepas dari itu, MUI punya tanggungjawab kepada Allah karena ini menyangkut dosa kehidupan di dunia, ketika MUI memberikan fatwa berdasarkan kondisi diatas maka MUI sudah berlepas tangan. Semua dosa orang itu nanti dipangku oleh orang yang memberikan keterangan bahwa vaksin itu tidak ada yang halal. Berapa juta orang nanti yang akan ditanggung dosanya,” bebernya.
MUI Pusat, menurutnya, pasti akan mengeluarkan fatwa tentang bolehnya vaksin. Tapi dengan dua kemungkinan, apakah boleh karena vaksin itu halal dan vaksin itu boleh selama belum ada penggantinya yang baru (halal) seperti halnya fatwa tentang vaksin meningitis dan polio.
Sikap MUI selanjutnya, vaksin dimaksud tetap dilanjutkan bagi non muslim dan non muslim yang tidak merasa keberatan sesuai hasil pertemuan MUI dengan Kemenkes pada 3 agustus 2018, serta tidak boleh ada pemaksaan kepada kaum muslimin yang keberatan tentang kehalalannya sebelum ada fatwa MUI.
“Kalau ada pemaksaan itu bertentangan dengan undang-undang dasar pasal 29. Karena ada hak kaum muslim yang belum mengetahui halal atau tidaknya obat itu. Pemerintah boleh memaksa jika sudah ada fatwa halal, itupun kalau ada aturan pemerintah yang mengatur,” ucapnya.
MUI KSB, sambung Kyai Syamsul, tidak mengeluarkan fatwa halal atau haram, karena kewenangan fatwa ada di MUI pusat. Dari beberapa sikap tersebut, MUI KSB mengusulkan kepada Pemda KSB bisa menerbitkan rekomendasi melanjutkan program imunisasi bagi yang non muslim dan muslim yang tidak keberatan. Selanjutnya untuk menunjang rekomendasi tersebut, dinas terkait (Dikes dan Dikpora) mesti mensosialisasikan ke sekolah –sekolah dengan menghadirkan wali murid.
“Jika kegiatan sosialisasi itu membutuhkan pendampingan dari MUI tentang boleh atau tidaknya vaksin itu, maka kami dari MUI siap untuk turun bersama-sama,” demikian Kyai Syamsul Ismain.(EZ)
Komentar