*)Oleh : Heri Kurniawan Hasan
Mengapa isu Pilkades begitu memikat di pusaran politik grassroot?, Karena masa depan desa sebagai institusi paling kecil dan paling dekat dengan rakyat ditentukan oleh olahan demokrasi desa itu sendiri. Secara politis, isu tentang desa menjadi semakin seksi manakala Pilkades itu terlaksana dalam tahun yang sama dengan Pilkada itu sendiri, maka secara otomatis para kades yang terpilih menjadi tokoh sentral yang paling didekati oleh para calon kepala daerah di wilayahnya masing-masing.
Dalam tataran teknokratik, isu ini menjadi semakin seksi ketika para kades menjadi perpanjang tangan pemerintah pusat secara langsung melalui eksistensi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, yang salah satu partikel paling penting adalah adanya dukungan dana desa yang begitu memadai sebagai input kuantitatif paling besar di desa.
Inilah yang membedakan paradigma “desa lama” dengan “desa baru”. “Desa Lama” masih berdiri di atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, sehingga posisi desa masih berada pada intervensi Pemerintah Daerah yang begitu kuat dan posisinya adalah sebagai “obyek” Pemerintah Daerah itu sendiri.
Sementara “Desa Baru” saat ini telah memiliki payung hukum pada level undang-undang yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, sehingga desa memiliki hak otonom untuk membangun desanya sendiri dengan anggaran yang diatur secara khusus melalui APBN. Dengan demikian, desa sudah tidak lagi menjadi halaman belakang NKRI, tapi saat ini telah menjadi halaman depan NKRI. Dengan kata lain bahwa intervensi Pemerintah Daerah menjadi sangat terbatas, maka desa saat ini posisinya menjadi “subyek” tersendiri (local self governance).
Dalam perpsektif pembangunan, bahwa jika domain desa yang terbilang sangat kecil, serta didukung oleh dana desa yang memadai, maka bahkan tanpa pemimpin sekalipun pun, mustahil desa itu tidak bisa membangun, apalagi pemimpin di desa itu lahir melalui olahan demokrasi secara langsung yang dilengkapi dengan perangkat visi misinya yang lengkap. Pada saat yang sama pula, dalam sudut pandang politis, Pilkades juga menjadi determinan “perubahan“ peta dan paradigma dinamika politik lokal secara modern saat ini.
Apa perubahan yang dimaksud?, Menurut penulis bahwa Pilkades bisa menjadi semacam “audisi” bagi para calon untuk menuju level politik lokal yang lebih tinggi. sebab seorang kepala desa memiliki ruang yang lebih besar serta didukung oleh input yang konsitusional untuk berkonstribusi secara empiris di wilayahnya masing-masing. Keuntungan ini hanya dimiliki oleh seorang kades, maka inilah yang disebut “social capital”. Fenomena-fenomena tersebut semakin memperkuat betapa seksinya isu Pilkades ditengah desa saat ini menjadi hybrid antara self governing community dan local self government.
Lalu apa kaitannya Pilkades dengan Pembangunan daerah?
Jika fenomena Pilkades ini dikaitkan dengan pembangunan daerah, maka kades-kades terpilih sesungguhnya adalah “bala tentara pembangunan” bagi daerah itu sendiri. Mengapa demikian?, Kesulitan pembangunan sebuah daerah selama ini terletak pada sulitnya membangun desa dengan beberapa determinan, termasuk diantaranya kondisi geografis dan terbatasnya APBD untuk menjangkau semua wilayah kerja administrasinya.
Maka pada tahun 2015, angin segar itu muncul melalui perwujudan kebijakan dana desa sebagai horizon baru pembangunan dengan semangat membangun negeri dari pinggiran. Pemerintah sangat percaya pada konsep sosial yang menyebutkan bahwa pembangunan suatu
wilayah itu tergantung kemajuan desa itu sendiri (Siregar, 2007), maka paradigma inilah yang menjadi salah satu semangat pembangunan desa secara holistik.
Jika kita menarik fenomena
tersebut kepada polarisasi pembangunan daerah, maka sesungguhnya pembangunan daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) sangat terbantukan dengan adanya kewenangan desa dengan input dana desa dalam membangun desanya. Dengan demikian, domain pembangunan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah menjadi semakin kecil dan terbatas, sehingga anggaran yang sejatinya ditujukan untuk desa-desa tertentu bisa digeser untuk digunakan pada program skala prioritas lainnya.
Artinya bahwa sulitnya membangunan daerah selama ini yang disebabkan oleh minimnya kas daerah, yang selanjutnya menyebabkan sulitnya memformulasikan anggaran yang ada untuk menjangkau seluruh wilayah Kabupaten/kota itu menjadi berkurang, sebab desa-desa sangat terbantukan secara holistik dengan adanya UU No. 06 Tahun 2014, dimana desa-desa telah menjadi local self government (membangun pemerintahan mandiri), terlebih RPJM Desa, RKP Desa, dan APBDes itu harus sejalan dengan RPJM Daerah/kebijakan pemerintah Daerah.
Itu artinya apa?, fenomena tersebut menggambarkan bahwa mustahil suatu daerah kabupaten tidak maju secara signifikan manakala urusan desa sudah menjadi domain pemerinah pusat melalui dana desa, sementara ketika desa maju maka otomatis daerah kabupaten/kota akan maju.
Kolaborasi kebijakan melalui UU desa dengan peran Pemerintah Daerah adalah alasan mengapa sangat mustahil suatu daerah tidak mengalami kemajuan yang signifikan, maka membangun Sumbawa dari pinggir adalah sebuah keniscayaan yang sejatinya tanpa kompromi.(*)
*)Penulis adalah Direktur Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan
Komentar