Program 1 Juta Ton Jagung dan Kerusakan Hutan

*)Oleh : NISA BAHAR

Akhir bulan April ini akan mulai panen raya jagung di NTB. Moment ini tentu mengundang kegembiraan bagi petani, namun juga memunculkan kecemasan bagi Pemerhati lingkungan. Komoditi jagung ibarat dewa yang memiliki dua kekuatan, baik dan buruk, pemberi anugrah tetapi juga sekaligus perusak.

Kawasan hutan di NTB khususnya didaratan pulau Sumbawa saat ini terlihat sangat hijau karena mendapatkan guyuran hujan sejak akhir desember yang lalu. Namun jika dicermati lebih dekat, hijaunya kawasan hutan tersebut karena semaraknya petani menanam jagung. Kawasan hutan di NTB sebagian besar telah mengalami transformasi menjadi lahan pertanian dengan komoditi utama jagung. Mengapa jagung? mengapa bukan tanaman yang lain? tentu ada beberapa faktor yang sangat kuat sebagai daya dorongnya.

Kondisi hutan di wilayah kecamatan Empang – Tarano Kabupaten Sumbawa

Bagi petani, jagung adalah sumber mata pencaharian andalan untuk menutupi kebutuhan hidupnya, khususnya masyarakat di sekitar kawasan hutan, yang memiliki keterbatasan sangat tinggi dalam penyediaan lapangan kerja, dan kegiatan” produktif lainnya.
Praktik budidaya jagung saat ini cenderung menggunakan cara” instan. Mulai dari membersihkan lahan, bahkan dengan membakar lahan, termasuk menebang pohon. Teknik ini dilakukan secara berulang setiap tahun. Maka cara” seperti ini akan menyumbang erosi dan terjadinya banjir.

Dari sudut pendapat petani, cukup meyakinkan bagaimana kontribusi jagung terhadap daya dukung ekonomi rumah tangga petani. Tapi bagaimana dampaknya terhadap lingkungan, sudahkah di kalkulasi? Disinilah wujud kompleksitas dari sebuah praktik kelola lahan dikawasan hutan yang sesungguhnya memerlukan prinsip kehati-hatian dan dituntut tidak hanya berorientasi pada hasil jangka pendek saja, tetapi juga berkelanjutan jangka panjang.

Siapa menanam, mereka yang menuai, dalam konteks kebencanaan, pepatah tersebut kelihatan tidak relevan. Mengapa? Dalam kasus jagung, mereka yang menanam adalah berada di hulu (upland),sedangkan dampak banjirnya ada di wilayah hilir (lowland). Maka kita tidak mungkin bisa melarang petani dihulu untuk berhenti menanam jagung di kawasan hutan, selama tidak ada pengganti yang lebih bermanfaat, setidaknya sama dengan hasil jagung. Inilah kiranya tantangan terbesar para pemerhati lingkungan, bagaimana melahirkan inovasi menggantikan atau mengintegrasikan tanaman jagung yang lebih ramah lingkungan.

Pada akhirnya mengelola sumber daya alam terkadang harus kompromi dengan realitas yang ada, tidak terus terjebak dalam kontradiksi” yang produktif.(*)

*)Penulis adalah Mahasiswa Semester VI Fakultas Ilmu Pemerintahan Prodi Ilmu Sosial IISBUD SAREA

iklan

Komentar