Salim Idrus dibunuh, Meletuslah Tambora

 

Keras meriam

ditumpas kabut debu gunung

nan muram

Tirto.id—Philippus Pieter Roorda van Eysinga dapat cerita rakyat tentang muasal meletusnya Gunung Tambora pada 10 April 1815. Kisah itu ditulis ulang dalam Handboek der Land-en Volkenkunde, Geschied-, Taal-, Aardrijks en Staatkunde van Nederlandsch Indie volume II (1841). Dari buku Roorda, kisah itu banyak dikutip. Termasuk oleh Henri Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah (2004: 336-338), yang melampirkan kisah meletusnya Tambora berdasar apa yang ditulis ulang Roorda van Eysinga.

“Sebermula ada seorang Said Idrus, asalnya dari Bengkulu, ialah menumpang kepada orang Bugis, singgah di Negeri Tambora berniaga. Maka ada suatu hari maka Tuan Said Idrus naik ke darat, masuk dalam negeri besar berjalan-jalan pesiar sampai waktu lohor, maka ia masuk dalam masjid sembahyang. Maka didapatnya ada di dalam mesjid itu anjing, maka disuruh usir ke luar anjing, disuruh pukul, maka orang yang jaga anjing itu marah,” tutur kisah yang dikutip Chambert-Loir. “Raja kami yang empunya anjing itu,” kata si penjaga anjing.
Said lalu bilang, “Baik siapa yang punya anjing, karena ini mesjid, Allah Subhanahu wa Taala yang empunya rumah ini (maksusnya Masjid). Siapa yang memasukkan anjing di dalam mesjid, orang itu kafir.”
Penjaga anjing lalu pergi mengadu kepada raja Tambora. “Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatnya ada anjing dalam mesjid,” lapor si penjaga anjing.

Mendengar laporan itu, raja Tambora marah. Itu anjing lalu disuruh potong untuk dimasak dengan kambing. Orang Arab itu pun dipanggil raja dan ia pun memenuhinya. Ada raja dan para pembantunya ketika Said Idrus tiba. Hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak, dengan satu hidangan yang berisi daging anjing di hadapan Said Idrus. Di hadapan raja Tambora terhidang daging kambing.

Maka makanlah mereka apa yang dihidangkan di hadapan mereka. Setelah makan, raja Tambora pun bertanya pada Said Idrus: “Hai Arab! Sebagaimana kau katakan haram anjing?” “Ya, haram,” kata Said Idrus. Raja Tambora pun berkata, “jikalau engkau katakan haram, mengapa engkau makan tadi itu anjing?” Said itu pun menyahut: “bukannya anjing saya makan ini tadi, saya makan daging kambing.” Saling bantah itu berujung pada kemarahan raja Tambora. “Bawa olehmu orang Arab ini bunuh,” perintah Raja. Perintah itu dituruti. Said Idrus dibawa naik ke Gunung Tambora. Sampai di atas, maka orang suruhan Raja Tambora pun menusuk Said dengan senjata tajam, termasuk tombak. Rupanya tubuh Said tidak makan senjata tajam. Orang suruhan Raja tak menyerah. Ada yang mengambil batu, ada yang melontar, ada yang memukul Said. Hingga kepala Said pun pecah dan darah berhamburan. Said lalu dimasukan ke dalam goa. Orang-orang suruhan raja pun pulang. Lalu, menyalalah api di gunung tempat Said dibunuh. Cerita itu menyebut, murka Allah pun memberi azab pada kerajaan Tambora beserta isinya melalui letusan gunung Tambora yang dahsyat itu.

Waktu Tambora meletus, kerajaan Tambora dipertuan oleh Abdul Gafur. Di sebelahnya, kerajaan Pekat, dipimpin raja Muhammad. Dari nama raja, dua kerajaan itu terkesan sebagai kerajaan Islam. Sudah jadi kebiasaan utak-atik gathuk sejarah Indonesia yang selalu mengira jika rajanya Islam—meski belum tentu semua rakyat atau sebagian rakyatnya Islam—maka dipastikan kerajaan itu adalah Islam. Jika rajanya Hindu—meski belum jelas agama kebanyakan rakyatnya—maka kerajaan itu dianggap kerajaan Hindu. Sulit menemukan raja yang tidak Islam, tidak Hindu, dan tidak Budha dalam buku pelajaran sejarah Indonesia. Baca juga: Agama-agama Yang Dipinggirkan Nah, dalam kasus Tambora, berhubung adanya cerita rakyat di atas soal lalimnya raja Tambora kepada Said Idrus si Arab alim itu, akan sulit menerima kenyataan jika kerajaan Tambora adalah kerajaan Islam, meski rajanya bernama Abdul Gafur. Seperti dalam cerita, adanya masjid yang dimasuki anjing setidaknya bukti lain kerajaan ini Islam. Soal raja lalim, sebetulnya bukan hal langka di Indonesia. Meski kebanyakan kerajaan selalu mengagung-agungkan rajanya. Menurut laporan dari raja Sanggar di Sumbawa, yang dekat dengan Tambora, seperti dikutip A.B. Lapian dalam “Nusantara: Silang Bahari” yang dimuat di buku Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard (2011: 81), sekitar pukul 19.00 malam pada 10 April 1815, tepat hari ini 203 tahun lalu, dari Sanggar terlihat tiga kolom api keluar dari puncak Tambora dan menyebar ke segala penjuru. “Hujan batu yang lebat mulai turun di Sanggar bercampur dengan debu. Batunya sebesar dua gumpal, disusul dengan angin berputar yang sangat dahsyat yang merobohkan hampir seluruh rumah […] Bunyi dentuman sangat riuh tanpa hentinya hingga malam tanggal 11. Setelah itu ledakan berkurang, tetapi sampai 15 Juli masih saja terdengar letupan-letupan,” tulis Lapian.

Penyebab Kekalahan Napoleon?

Waktu Tambora meletus, Roorda van Eysinga tak sedang di sekitar Gunung Tambora. Dia tengah berada di Front Waterloo. “Di masa mudanya ia memasuki dinas dan pertama-tama bertugas sebagai fourier, kemudian sebagai letnan kedua dengan batalion infantri ke-18, milisi nasional, dan ikut serta dalam pertempuran di Waterloo,” catat buku Biographisch woordenboek der Nederlanden (1874: 454-455). Roorda van Eysinga—lelaki kelahiran 1 Desember 1796 di Overijssel, Belanda—di masa mudanya belajar bahasa Inggris, Latin, juga Yunani. Jauh setelah kejadian, barulah ia mencari tahu soal Tambora. Disebut-sebut, meski masih dalam perdebatan, letusan Tambora yang berefek panjang pada cuaca di Eropa membuat pasukan Napoleon keok di front Waterloo. “Kegoncangan angkasa yang terganggu oleh erupsi yang luar biasa ini telah membawa dampak besar dalam tatanan iklim di Eropa Barat, misalnya sejak awal Juni 1815 dilanda hujan lebat selama beberapa minggu yang sebenarnya bukan musimnya,” tulis Lapian. Tapi, lebih lanjut Lapian mempertanyakan kembali, “Apakah hujan yang luar biasa pada bulan Juni 1815 ada hubungannya dengan erupsi Gunung Tambora seperti yang dikemukakan oleh pakar geologi Kenneth Spink dalam sebuah pertemuan ilmiah tentang Applied Geoschiences di Warmick?” Hujan tentu membuat jalan di zaman itu becek dan sangat sulit dilewati kendaraan beroda. Meriam-meriam besi yang berat berukuran ton akan sulit diangkut. Pasukan artileri menjadi andalan Napoleon Bonaparte. Kala itu, Perancis dikeroyok negara-negara Eropa di mana Inggris dan Jerman menjadi motor pentingnya. Di masa itu, jalan raya yang mulus sangat jarang sekali di Eropa. Lengkap sudah derita Napoleon. “Pasukan Prancis yang membawa kereta dengan persenjataan yang berat-berat dihalangi oleh lapisan-lapisan lumpur yang tebal. Dengan demikian bala bantuan yang diharapkan Napoleon terlambat tiba, dan akibatnya sangat fatal baginya: kekalahan di Waterloo tanggal 18 Juni 1815. Sejarah telah membuktikan bahwa peristiwa Waterloo ini telah mengubah peta dunia,” tulis Lapian. Jika benar hujan berminggu-minggu itu karena erupsi Tambora, maka letusan Tambora ikut mempengaruhi sejarah Eropa nun jauh di benua lain. Benar tidaknya itu semua, letusan Tambora lebih dahsyat ketimbang gunung Krakatau. Menurut catatan Lapian, sebanyak 48.000 orang tewas karena letusan Tambora. Diperkirakan, 36.275 orang mengungsi dari Sumbawa. Jadi karena letusan itu Sumbawa kehilangan 85.000 penduduknya. Sementara Krakatau menghilangkan sekitar 40.000 nyawa.

 

Komentar