Banyak orang yang mengindentikkan saya dengan PKS. Saya kira itu wajar. Karena sayalah yang memimpin PKS KSB di era perjuangan hanya bermodal tekad, semangat dan kesungguhan. Fasilitas juga sangat minim di era itu. Berbeda dengan perjuangan PKS hari ini. Sokongan dari pejabat publik dan jaringan birokrasi serta pengusaha yang relatif kuat dibandingkan era saya memimpin PKS Sumbawa dan KSB tahun 2003.
Namun kami, saya dan ikhwa seperjuangan, tentu bisa bangga. Dalam kondisi prihatin dan minim fasilitas saat itu, kami berhasil mengantar kader kader terbaik ke parlemen. Masing-masing tiga orang di DPRD Sumbawa dan DPRD KSB. Tidak hanya itu, berkat konsistensi perjuangan parlemen kami di DPRD KSB, PKS yang masa itu mengusung jargon Bersih, Peduli dan Profesional, pada pemilu berikutnya berhasil mempertahankan tiga kursi di DPRD KSB. Saya dan dua orang kader baru.
Untuk mengukur keberhasilan kerja politik PKS, bisa dilihat dan dibandingkan dengan capaian kursi partai lain di pemilu kedua KSB tahun 2009. Partai Golkar dari 4 kursi anjlok menjadi 3 kursi, PAN dari 3 kursi menjadi 2 kursi, PPP dari 3 kursi jadi 2 kursi dan yang tragis PBB yang kadernya menjabat Ketua DPRD serta Bupati saat itu dari 2 kursi menjadi nihil, tidak ada sama sekali.
Para legislator PKS mampu memberi warna di DPRD dengan sikap kritis atas berbagai isu dan persoalan yang mengemuka di masyarakat. Fraksi PKS saat itu juga mencatat sejarah dengan membongkar skandal Dolar Gate. Dolar Gate adalah kasus penerimaan gratifikasi berupa uang dalam bentuk dollar oleh pimpinan dan anggota DPRD KSB dari salah satu perusahaan yang beroperasi di tambang Batu Hijau. Berita tentang skandal dolar gate itu kemudian menjadi headline di media lokal, regional dan nasional. KPK Bahkan sampai turun ke KSB dan skandal itu berakhir dengan pengembalian gratifikasi yang telah diterima oleh para Pimpinan dan anggota DPRD.
Eksistensi yang ditunjukkan PKS membuat partai ini sangat diperhitungkan di kancah politik lokal KSB. Termasuk di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2010. Momentum Pilkada itu pula yang menimbulkan praha di internal dan eksternal PKS (koalisi partai) yang berujung pada situasi dimana saya harus terpental dari pentas politik. Banyak pihak yang menilai saya egois dan ambisius karena saat itu saya memilih mundur dari DPRD dan dari PKS. Padahal saya menduduki jabatan sebagai pimpinan Dewan dan baru beberapa bulan menduduki jabatan itu. Tapi saya tidak menyalahkan orang-orang yang memberi penilaian miring, karena saya yakin mereka tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi yang melatarbelakangi sikap politik yang saya ambil.
Ketika PKS mendapat tiga kursi DPRD KSB di Pemilu 2009 partai ini menjadi salah satu partai besar yang menjadi incaran. Di internal, sebagai Ketua DPD dan kader yang menduduki jabatan Pimpinan DPRD, saya diberi mandat oleh partai berupa rekomendasi DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) untuk maju di Pilkada. Bahkan saya mengantongi dua surat rekomendasi waktu itu. Tapi ibarat gadis cantik, PKS dengan tiga kursi di DPRD menjadi incaran banyak partai lain sebagai mitra koalisi, juga incaran banyak figure, baik dari internal maupun eksternal, untuk dijadikan kendaraan politik di Pilkada.
Selain saya, dari internal ada Andi Azisi Amin. Sementara dari eksternal ada H Busrah Hasan dan incumbent KH Zulkifli Muhadli (Kyai Zul). Busrah Hasan dan Kyai Zul bahkan intens berkomunikasi sampai DPP PKS dan bertermu Presiden PKS yang saat itu dijabat Lutfi Hasan Ishaaq. Busrah Hasan menghadapi gelombang besar dengan terputusnya komunikasi politik yang sudah dibangun. Beliau diberi tiga syarat jika ingin menjadikan PKS sebagai kendaraan politik. Namun syarat itu berat dan mustahil untuk dipenuhi.
Pasca prahara Pilkada itu, saya langsung mengambil keputusan politik, mundur dari PKS. Saya punya alasan kuat sehingga keputusan yang oleh sebagian orang disebut mencerminkan sikap ambisius itu harus saya ambil. Saat ini, setelah belasan tahun peristiwa itu terjadi, saya terpanggil untuk membuka kembali memori dan catatan sejarah dalam perjalanan karier politik saya itu. Bukan untuk nostalgia, tapi lebih untuk menyajikan fakta – fakta dibalik perostiwa itu, dimana publik, bahkan teman dekat saya sendiri banyak yang tidak tahu. Belasan tahun hal itu saya simpan rapi karena saya lebih memilih untuk tidak mengumbar cerita.
Awal cerita saya masuk pusaran Pilkada, bermula dari telepon Dr Zulkiflimansyah (sekarang Gubernur NTB), pengurus DPP PKS yang saat itu masih menjadi Anggota DPR RI. Suatu hari, ba’da sholat magrib, saya sedang menyelesaikan amal harian sebagai kader PKS, menunggu waktu isya sambil mengaji. Tiba – tiba HP saya berdering. Saya bergegas mengambil dan melihat telpon masuk itu ternyata dari Dr Zul, yang di HP saya tersimpan dengan nama ‘Sanak Doktor Zul’. Saya buru-buru mengangkat.
“Assalamualaikum…” beliau membuka pembicaraan. Setelah menjawab salam saya bertanya “Apa kabar..?” Setelah menjawab kabar baik, beliau langsung melanjutkan percakapan dengan bahasa Sumbawa. “Ta ada Kiyai pang bale, datang eneng senapat luk ya maju periode kedua, meluk menurut kau…?”. (Ini ada Kyai di rumah, datang menyampaikan bahwa akan maju (pilkada) untuk periode kedua. Bagaimana menurutmu?”). Spontan saya jawab “ba balong mo, memang beliau harus melanjutkan,” jawab saya.
“Masalahnya Kiyai minta dukungan PKS dan minta kamu jadi wakil,” Doktor melanjutkan.
Spontan saya menjawab “Kalau dukungan PKS tentu yang lebih pas menentukan adalah struktur di atas. Kami (DPD) paling hanya proses penjaringan sesuai arahan dan prosedur. Adapun soal saya diminta jadi wakil kalau bisa jangan sayalah, soalnya baru saja dapat amanah jadi pimpinan DPRD KSB bersama sama dengan ayahanda HM Syafi’i (Golkar) dan kanda M Saleh (PPP),”.
Kemudian doktor melanjutkan dengan mengatakan, “ini bicara langsung dengan Kyai,”. Saya pun bicara panjang lebar dengan Kyai Zul terkait permintaan beliau.
Setelah cukup lama kami bicara, akhirnya HP diserahkan kembali ke Doktor dan kami melanjutkan pembicaraan. Kali ini lebih kepada arahan untuk langkah tindak lanjut. Sebagai pengurus DPP beliau menyampaikan instruksi ke saya : “Mulai besok PKS segera buat konfrensi pers untuk membuka wacana dukungan ke Kyai, Fraksi di DPRD turunkan tensi kritis sebagai oposisi dan mulailah lebih soft dan jalin kerjasama. Kalau bisa di publik selalu tampil bersama atau mendampingi Kyai,” ujar Doktor Zul. Ada banyak lagi arahan dan saran dari beliau untuk saya lakukan. Di akhir percakapan disampaikan bahwa segera akan dilakukan survei dengan menunjuk Puskapol Fisip UI serta untuk komunikasi selanjutnya di Mataram akan dibantu fasilitasi oleh Bang Agus Talino (tokoh muda Sumbawa yang juga wartawan senior penanggungjawab Harian Suara NTB). Dan percakapanpun berakhir.
Keesokan harinya semua yang disarankan atau arahan mulai satu persatu saya lakukan. Hari demi hari , minggu berganti minggu proses politik begitu dinamis. Sebagai kader tentu saja saya tidak bergerak sendiri melainkan tetap bersama struktur partai dan kader lainya. Di sisi lain ada kader PKS yang juga berproses untuk maju yaitu Andi Azisi Amin serta H Busrah Hasan yang membangun komunikasi politik lewat pengurus DPD.
Dalam hitungan bulan, setelah komunikasi dengan Doktor Zul dan Kyai Zul, keluarlah hasil survei yang menunjukkan bahwa Kyai Zul memiliki elektabilitas tertinggi sebagai calon Bupati. Sedangkan saya memiliki elektabilitas tertinggi sebagai calon wakil bupati. Kemudian simulasi pasangan Kiyai – Mustakim mengungguli simulasi pasangan lain. Hasil survei itu konon diterima oleh orang dekat dan kepercayaan Kyai Zul saat itu. Dengan hasil itu mestinya cukup menjadi preferensi awal untuk menetapkan pasangan atau koalisi. Akan tetapi fakta bicara lain. Dinamika politik ternyata menyuguhkan realita lain dimana Kyai Zul justru lebih memilih tetap berpasangan dengan (Alm) H Mala Rahman. Mereka diusung Koalisi Adha, koalisi besar yang nyaris sempurna dengan mengajak seluruh parpol, kecuali PKS dan PPP.
Beberapa hari setelah deklarasi, utusan Kyai Zul, (Alm) Amir Husain, menemui saya di rumah menyampaikan maksud dan pesan serta ajakan Kyai Zul untuk PKS agar ikut bergabung dalam Koalisi Adha dengan alasan pada periode kedua Kyai ingin mulus tanpa gangguan kelompok oposisi di DPRD. Amir Husain juga mengharapkan saya bisa fasilitasi Kyai Zul untuk bertemu presiden PKS di Jakarta. Meski saya menolak untuk turut serta ke DPP PKS dan menyarankan cukup bersama Abidin Nasar yang saat itu menjabat Ketua DPD PKS KSB, tapi Kyai Zul menurut utusannya itu, tetap meminta dan bahkan ada kesan memaksa saya harus ikut.
Akhirnya setelah berkoordinasi dan juga mempertimbanglan banyak hal, saya memutuskan ikut. Saat itu tim lobby dari Koalisi Adha juga melibatkan Kepala Bappeda, DPPKAD dan Amir Husain.
Saat pertemuan di DPP itulah terungkap alasan kenapa Kyai Zul akhirnya lebih memilih Mala Rahman daripada saya. Saat ditanya oleh petinggi PKS. “Kenapa Pak Kyai tidak jadi pasangan dengan kader kami, kan Pak Kyai yang minta. Lagi pula hasil survei juga bagus,”.
Kyai Zul-pun mengungkap alasannya. Ternyata karena mimpi, tepatnya mimpi naik sepeda. Untuk ditail mimpi naik sepeda itu akan saya ulas dilain kesempatan. Sementara di hari yang sama saat menerima Kyai Zul di DPP, Busrah Hasan juga hadir atas jadwal yang diberikan DPP. Hanya di jam yang berbeda. Itu artinya proses komunikasi politik Busrah Hasan juga resmi dengan partai.
Pada akhirnya pasangan Kyai Zul – Mala Rahman gagal mendapat dukungan PKS di Pilkada 2010. Demikian pula saya dan H Busrah Hasan. Saya dan H Busrah Hasan harus legowo karena PKS lebih memilih memberikan rekomendasi final sebagai calon bupati yang diusung di Pilkada KSB 2010 kepada Andi Azisi Amin.
Bagi saya, pelajaran berharga dari prahara itu adalah menempa jiwa dan menguatkan prinsif bahwa setiap peristiwa pasti ada hikmah dibaliknya. Terlebih lebih jika saya renungkan dan hayati keyakinan bahwa sebaik baik rencana adalah rencana Allah. Sesuatu yang menjauh dari saya tentu bukanlah hak saya. Tapi bukan berarti jelek atau gagal itu buruk melainkan ada rahasia kebaikan yang hanya Allah yang maha mengetahui. Jika sekarang saya memilih untuk bercerita, juga dalam upaya meluruskan cara pandang atau persepsi yang terbangun di publik yang cenderung memberi stigma negatif pada saya. Misalnya mengira saya ambisius, tidak mensyukuri capaian yang sudah berhasil saya raih.
Setelah prahara berlalu, Alhamdulillah saya berkesempatan melanjutkan studi S2 di Bandung pada Kelas SESKOAD Program Pasca Sarjana UNJANI kerjasama dengan UNPAD. Alhamdulillah di Kota Kembang saya belajar banyak tentang Ilmu Pemerintahan, belajar tentang makna ‘kesejukan’ dan menguatkan serta memperluas jaringan. Dalam kesibukan belajar sambil bekerja sebagai konsultan PAUDNI di Kementerian Diknas dan sebagai staf ahli Fraksi Partai Demokrat DPRD Jawa Barat, saya berusaha menjaga semangat dan memelihara konsistensi sebagai politisi, pilihan profesi yang secara sadar sudah saya pilih.
Dari kejauhan saya tetap menjaga hubungan emosional dengan KSB, termasuk dengan tokoh – tokoh KSB, utamanya Kyai Zul yang sudah terpilih untuk periode keduanya. Hasil dari menjaga keterkaitan batin dengan KSB dan juga jalinan silaturrahmi dengan tokoh dan sahabat sahabat di KSB, saya petik berupa kepercayaan dari TGB (Tuan Guru Bajang) untuk membantu beliau. Saya ditunjuk menjadi Ketua DPC Demokrat dan mendapat kesempatan kembali menjadi ‘juru bicara rakyat’ di parlement KSB setelah mendapat kepercayaan pemilih pada Pemilu 2019.(*)
Komentar