Jakarta,KabarNTB – Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mempertanyakan usulan pemerintah untuk mematok subsidi solar pada kisaran 16.82 sampai 17.22 juta kiloliter. Menurutnya, angka ini tidak realistis dan tidak mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Hal ini disampaikannya dalam Rapat Kerja dengan Kementerian ESDM, Rabu (24/6).
Anggota Fraksi NasDem ini mengusulkan asumsi dasar besaran subsidi solar untuk RAPBN tahun 2016 sebesar 17 sampai 18 juta kiloliter. Asumsi perhitungan yang digunakan oleh Kurtubi mempertimbangkan besaran asumsi pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah sebesar enam persen.
Dia juga mengingatkan Kementerian ESDM bahwa pada APBN-P tahun 2015 telah ditetapkan jumlah solar bersubsidi sebesar 17.05 juta kiloliter. Karena itu, ia mengusulkan kisaran patokan subsidi solar pada RAPBN 2016 tidak terlampau terpaut jauh dari APBN-P 2015.
“Untuk batas atasnya mengacu pada angka 17.05 juta kiloliter (berasal dari angka APBN-P tahun 2015) dikali dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen lebih. Jadi sekitar 18.00 juta kiloliter dan asumsi terendahnya sama sekitar 17.00 juta kilo liter,” ulasnya dalam pres release yang disampaikan kepada media ini.
Kurtubi juga menekankan bahwa solar bersubsidi sangat dibutuhkan oleh masyarakat khususnya kalangan pelaku ekonomi. Oleh karena itu ia meminta DPR menyetujui subsidi harga solar perliter minimal Rp 1.000. “Hal ini dimaksudkan untuk menolong agar kalangan usaha lebih cepat geraknya. Sehingga lalu lintas barang dari sentra produsen ke sentra konsumen (pasar) bisa lebih murah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.
Menceritakan pengalamannya di daerah pemilihannya, NTB, ia mengatakan bahwa besar kemungkinan angka patokan pemerintah akan mengalami defisit. Ia menceritakan, di Sumbawa, pada bulan keempat dan kesembilan tahun 2015, kebutuhan solar pada daerah tersebut meningkat. Masyarakat setempat meminta kepada Pertamina Ampenan untuk mengirimkan solar sebesar 20.000 kiloliter tetapi yang dikirimkan hanya 5.000 kilo liter.
“Jadi saya khawatir angka yang diajukan pemerintah akan kurang disepanjang tahun 2016,” ungkapnya.
Anggota DPR yang juga Dosen Ekonomi dan Energi di Universitas Indonesia (UI) ini secara argumentatif menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi, konsumsi solar pasti akan meningkat. Hal ini disamping peningkatan konsumsi solar secara absolut berdasarkan pertambahan jumlah penduduk. Berdasar itulah Kurtubi mempertanyakan asal muasal angka yang disampaikan pemerintah.
Menteri ESDM Sudirman Said sendiri pada rapat tersebut membenarkan bahwa ada pertimbangan pertumbuhan ekonomi 6 persen, namun ia juga memiliki pertimbangan lain yang mendasari angka subsidi solar yang diajukannya.
Menteri menjelaskan bahwa berdasarkan data statistik yang ada, terlihat adanya penurunan volume konsumsi solar bersubsidi sebesar 14 persen. Hal ini, menurutnya, antara lain disebabkan karena subsidi terhadap nelayan untuk kapal berbobot 30 gross tone (GT) ke atas sudah dihapus.
“Selain itu, angka penyelundupan BBM solar menurun karena adanya disparitas harga antara solar subsidi dan non subsidi yang hanya 1.000 rupiah dan ini sangat positif bagi kita. Kalau Komisi VII menghendaki adanya suatu cadangan, kita masih ada waktu sampai bulan Oktober pada waktu kita memutuskan atau memfinalkan RAPBN Tahun 2016,” ungkapnya.
Komisi VII akhirnya sepakat untuk menetapkan angka asumsi dasar subsidi BBM Jenis Solar pada APBN 2016 dalam kisaran 16.00 hingga 18.00 juta kiloliter dari yang sebelumnya diajukan oleh pemerintah dengan kisaran 16.82-17.22 juta kiloliter.(K-Ir)
Komentar