Membincang Persoalan Anggaran yang Berlarut : Uang Habis, Rakyat Tak Kebagian

Oleh : Heri Kurniawansyah HS

Persoalan anggaran merupakan persoalan yang paling urgen dalam tatanan organisasi manapun, baik organisasi pemerintah maupun organisasi privat. Anggaran merupakan asupan utama sebuah kebijakan dan program menuju tujuan substantif kebijakan itu sendiri.

Sebaik apapun kepemimpinan dan manajemen dalam sebuah organisasi, jika anggaran bermasalah atau anggaran sangat minim, kecil kemungkinan akan terjadi perubahan dan pembangunan dalam sebuah organisasi.

Dalam tatatan Pemerintah Daerah, jika hanya mengacu kepada pendapatan asli daerah (PAD) saja yang pencapaiannya rata-rata masih jauh dibawah 50%, maka tidak mungkin pembanguan tersebut akan tercipta, terlebih dalam postur anggarannya belanja “tidak langsung” jauh lebih tinggi dari “belanja langsung”, sehingga perlu sokongan dana dari luar untuk menambah APBD daerah itu sendiri untuk keperluan suksesi kebijakan yang telah dibuat. Dana dari luar tersebut bisa dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, atau sering disebut dengan dana transfer, bisa juga dari investasi jika memang ada, dan sumber-sumber lainnya.
Masalah tidak berhenti hanya pada tataran bagaimana mendapatkan anggaran sebanyak-banyaknya.

Namun lebih dari itu, anggaran yang didapatkan tersebut dalam penggunaannya sudah tepat sasaran atau belum, atau hanya menjalankan rutinitas seperti biasanya dan kemudian dibungkus dengan administrasi yang baik, sehingga mendapat penghargaan atau pujian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Saat ini begitu banyak daerah yang mengejar predikat WTP, namun disisi lain, pada tataran substantif kebijakan itu sendiri cendrung dilupakan. Akibatnya masalah-masalah klasik di ranah publik banyak yang belum tersentuh.

Fenomena tersebut sedang menjadi trend di kalangan pemerintah saat ini. Sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar, apakah persoalan yang mendasar dalam sistem penganggaran sehingga masalah-masalah tersebut masih terjadi, apa titik kelemahannya dalam sistem evaluasi kinerja pemerintah sehingga begitu sulit mencapai tujuan kebijakan secara holistik bagi masyarakat.

Persoalan Mendasar Sistem Penganggaran
Menurut penulis, ada dua hal yang selalu menjadi masalah mendasar sistem penganggaran kita. Pertama adalah adanya mekanisme politik anggaran antara Pemerintah Pusat/Daerah dengan DPR/DPRD pada saat menyusun APBN/APBD (Kumorotomo, 2008). Dalam proses tersebut, tidak tertutup kemungkinan pihak legislatif juga berusaha mengusulkan program-program untuk kepentingan konstituennya, sehingga terjadi proses tawar-menawar antara pihak eksekutif dengan legislatif. Irene S. Rubin dalam The Politics of Public Budgeting (2000) mengatakan, dalam penentuan besaran maupun alokasi dana untuk rakyat senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh pejabat, bahwa alokasi anggaran acap juga mencerminkan kepentingan perumus kebijakan terkait dengan konstituennya.

Dampaknya, bisa saja beberapa program yang telah disusun oleh pihak eksekutif berubah pada saat pembahasan, dan anggaran yang disahkan adalah program-program yang isinya tidak sesuai lagi dengan visi dan misi daerah/kementrian/instansi.

Kemudian yang kedua adalah terletak pada ketidakmampuan aparat pemerintah untuk membuat perencanaan anggaran berbasis kinerja (performance budget system) yang sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, seharusnya pemerintah sudah menggunakan pendekatan anggaran berbasis kinerja (ABK).

Artinya, anggaran yang disusun seharusnya memperhatikan hubungan antara dana yang dikeluarkan (input) dengan hasil yang diharapkan (outcome) serta harus ada efisiensi dalam proses kegiatan tersebut. Namun dalam prakteknya, masih banyak Pemerintah Daerah yang menggunakan cara tradisional/incrementalism atau Traditional budgeting system dengan hanya menambah atau mengurangi biaya pada program/kegiatan yang sudah ada di tahun sebelumnya. Dampaknya, walaupun ada program yang sebenarnya sudah tidak dibutuhkan, tetapi selalu masuk dalam anggaran setiap tahunnya. Pendekatan incrementalism ini bersifat line-item, yang lebih fokus pada input, dan menilai kinerja instansi dari tingkat penyerapan anggaran.

Akibat dari itu semua adalah adanya pelaksanaan program yang tidak sesuai dengan perencanaan. Aparat di instansi pemerintah hanya berpikir bagaimana agar anggaran mereka bisa diserap, tanpa mempertimbangkan apakah programnya bermanfaat untuk masyarakat.

Sistem ini adalah tidak didasarkan pada pemikiran atau analisa rangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi itu sendiri. Artinya bahwa dalam sistem tersebut, output dan outcome kinerja tidak menjadi suatu hal yang sangat penting.

Bagaimana Manfaat Anggaran Bagi Publik Yang Ideal?
Fungsi alokasi sumber daya publik dan fungsi distributif dari anggaran harus dimaksimalkan, yaitu proses mengalokasikan dan mendistrubusikan sumber dana publik secara ekonomis, efisien, efektif, adil dan merata (Mardiasmo, 2002). Artinya bahwa belanja pemerintah seharusnya digunakan untuk program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dan dapat berperan sebagai penggerak roda perekonomian, pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Misalnya, pembangunan infrastruktur irigasi bisa meningkatkan produksi masyarakat di bidang pertanian. Pembangkit listrik bisa memperlancar proses pengolahan hasil produksi. Tersedianya infrastruktur jalan secara merata akan mempercepat siklus peredaran barang dan mengurangi biaya logistik/transportasi dari daerah penghasil ke kota. Dampaknya, kesejahteraan masyarakat secara sustainable akan meningkat karena produsen dapat menjual barang lebih banyak, cepat dan murah. Masyarakat konsumen juga diuntungkan karena dengan turunnya harga, maka mereka akan mempunyai surplus pendapatan yang bisa dibelanjakan untuk kebutuhan lain.

Titik kelemahan dalam sistem evaluasi kinerja pemerintah (WTP & SAKIP)
Sistem yang menunjukkan evaluasi kinerja organisasi dan penggunaan anggaran di Indonesia masih banyak menggunakan laporan formal seperti pemberian predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) atau SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), dan ternyata sistem evaluasi tersebut kurang tepat untuk mengoptimalkan manfaat anggaran bagi publik.

Opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada dasarnya tidak bisa dijadikan pedoman dalam mengevaluasi kinerja anggaran Pemerintah Daerah. Karena opini BPK tersebut merupakan pendapat atas kewajaran penyajian Laporan Keuangan Pemerintah berdasarkan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektivitas sistem pengendalian intern (UU No. 15 Tahun 2004). Artinya, Opini Audit yang diberikan BPK tidak bertujuan untuk menilai apakah anggaran yang dibelanjakan pemerintah telah beorientasi kepada publik atau tidak.

Kemudian sistem evaluasi anggaran tersebut fokusnya lebih menitikberatkan pada proses administrasi dan penyerapan anggaran, bukan pada outcome dan impact program tersebut pada kesejahteraan masyarakat.
Mengacu kepada beberapa regulasi tentang penilaian kinerja yang digunakan saat ini, diantaranya Permendagri Nomor 73 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD). Peraturan ini lebih menitikberatkan pada kesesuaian dan keselarasan antara program pemerintah pusat dan daerah, serta menilai efektivitas perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD.

Kemudian Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan & RB) Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pedoman Evaluasi atas Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Evaluasi SAKIP pada dasarnya sudah mulai mengarah pada penilaian kinerja instansi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan sampai dengan berapa besar hasil dan dampak program tersebut kepada masyarakat.

Namun evaluasi ini hanya menitikberatkan pada perbandingan antara target dengan realisasi, dan belum mempertimbangkan kualitas pelayanan yang diberikan sebagai salah satu indikator penilaian. Kemudian ada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.02/2011 tentang Pengukuran Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga/Negara.

Salah satu indikator evaluasi kinerja dalam peraturan ini adalah berapa besar tingkat penyerapan anggaran dari implementasi kegiatan. Daerah yang serapan anggarannya rendah akan mendapat sanksi berupa pemotongan DAK/dana insentif di tahun berikutnya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem evaluasi Indonesia lebih banyak fokus pada proses administrasi pelaksanaan anggaran dan tingkat penyerapan anggaran, bukan pada kualitas, hasil dan dampak anggaran tersebut pada masyarakat.

Rekomendasi
Memastikan seluruh Pemerintah Daerah untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 dalam menyusun anggaran yang berbasis kinerja dan membelanjakan anggaran tersebut secara ekonomis, efektif dan efisien.

Yang berarti merubah cara kerja dan fokus evaluasi dengan menekankan pada outcome dan impact sebuah program/kegiatan, dan memperhatikan kualitas pelayanan, bukan hanya sekedar memeriksa kelengkapan administratif atau tingkat penyerapan anggaran.

Merubah cara berpikir para aparat pemerintah dengan lebih mengedepankan pencapaian kinerja berupa outcome dan impact. Memberikan sanksi yang tegas kepada instansi yang tidak dapat memenuhi kinerja dengan mencapai outcome dan impact yang diharapkan (New Public Management).(*)

*)Penulis adalah Penerima Beasiswa LPDP RI Magister Departemen Kebijakan Publik Fisipol UGM & Fisip UNSA)

Komentar