Serumit Inikah Menjadi Orang Pulau ?

Oleh : B. Kurniati Ningsih*

“Serumit inikah?”, desahnya lemah sembari menekuri lantai putih yang beberapa hari ini akrab dengannya. Putra (bukan nama sebenarnya) menatap nanar tubuh lemah tak berdaya di pembaringan besi dengan alas seadanya.

Ya.. itu adalah istrinya tercinta, sedang berjuang untuk kelahiran buah hati mereka. Nasib mengharuskan mereka meninggalkan pulau kecil mereka menuju Kota Sumbawa. Mempertaruhkan segala rasa, demi sebuah asa yang bernama keselamatan. Rasa sedih, khawatir, gundah, bimbang, bingung, semua ditepis dengan satu tekad untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik.

Perjalanan panjang menuju kota Sumbawa tidaklah mudah. Butuh perjuangan yang menguras cukup banyak tenaga dan pikiran. Berangkat dari pulau kecil nun jauh di tengah laut lepas sana. Dari Pulau Satanger, pulau yang mereka tempati, menuju Pulau Sailus Besar, sejauh 14,8 km menggunakan perahu kayu kecil, dengan pengharapan kondisi istrinya bisa tertangani di pusat pelayanan kesehatan terdekat.

Perahu motor, sarana transportasi satu-satunya warga dari Pulau Satanger untuk mengakses layanan kesehatan yang berjarak ratusan kilo meter dari pulau tempat tinggal mereka

Tapi sayang kondisi kehamilan sang istri tidak mampu tertangani dengan fasilitas kesehatan yang ada, membuat mereka harus dirujuk ke Pulau Sumbawa, daratan terdekat dari tempat mereka. Jangan membayangkan kata “dekat” itu benar-benar dekat seperti yang biasa dirasakan pada umumnya. Perjuangan masih berlanjut. Mereka harus terombang ambing sekitar 8 jam di atas perahu kayu yang biasa digunakan nelayan untuk membawa ikan hasil tangkapannya. Beruntung jika cuaca bersahabat, sehingga mereka bisa sampai lebih cepat dan dalam kondisi kering sampai di daratan.

Jika sebaliknya, maka penderitaan panjang akan lebih lama mereka rasakan, bisa lebih dari 8 jam perjalanan, menghadapi gelombang, angin, hujan dan hempasan air laut yang membuat seluruh penumpang basah tak terkecuali. Berbahaya? Pasti itu. Tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi. Tidak ada pilihan lain!

Pulau Satanger adalah salah satu pulau kecil yang terdapat di kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan penelusuran Google jaraknya sekitar 355 km ke kota Makassar dan 393 km ke Kota Pangkajene (Ibukota Kabupaten Pangkep). Secara Geografis, pulau ini posisinya lebih dekat dari Kabupaten Sumbawa yang termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Hanya sekitar 161 km, sehingga bisa ditempuh lebih cepat dibandingkan ke Makassar atau Pangkajene, yang waktu tempuhnya bisa sampai 3 hari 3 malam dengan menumpang kapal kayu berukuran sedang.

Kondisi inilah yang membuat sebagian besar penduduk pulau-pulau sekitar Liukang Tangaya Barat banyak beraktivitas ke Pulau Sumbawa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti berniaga, bersekolah, dan terutama pada saat kondisi-kondisi darurat. Ada kasus warga yang harus melahirkan di atas perahu sebelum sampai ke daratan Pulau Sumbawa. Tak jarang pula yang harus meregang nyawa dikarenakan kondisi yang sangat kritis.

Sesampainya di daratan Pulau Sumbawa, perjuangan Putra belum juga berakhir. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, mereka harus melengkapi dokumen-dokumen yang dibutuhkan pihak Rumah Sakit. Nah, muncullah berbagai masalah disini. Kartu BPJS yang dimiliki ternyata sudah tidak aktif. Sementara sang istri harus segera ditangani. Pusing tujuh keliling lah dia. Kemana harus mencari biaya pengobatan yang tidak bisa dibilang sedikit. Dunia seakan berputar. Kaki seakan tidak berpijak ketika melangkah. Letih dan lunglai tubuhnya bersandar di dinding putih beraroma obat-obatan menyengat khas Rumah Sakit.

Kondisi lemah sang istri setelah operasi cesarnya belum pulih, tiba-tiba drop dan harus dirawat di ICU. Sedangkan sang buah hati masih dalam inkubator. Lengkap sudah rasanya penderitaannya. Seberat inikah? Haruskah menyerah pada keadaan?.. Tak lama berselang, takdir mengharuskan Putra terpisah selamanya dengan istri tercinta. Ajal telah memanggil. Belahan jiwanya telah berpulang melepas segala sakit yang dirasakan.

Suasana perkampungan warga di Pulau Satanger

Tinggallah Putra sendiri memikirkan bagaimana caranya mengeluarkan jenazah sang istri agar segera bisa diurus pemakamannya. Sementara uang tidak ada sama sekali untuk biaya Rumah Sakit. Masih beruntung pihak Rumah sakit berbaik hati memberikan kelonggaran dengan menerima penjamin atas dirinya. Segeralah ia menyelesaikan pemakaman istrinya. Sedih harus menerima kenyataan ini, mengurus kematian sang istri di daerah orang. Tanpa sanak keluarga dekat. Jiwanya teriris, namun harus tegar demi anak-anak. Sekali lagi tidak ada yang bisa menolak takdir. Harus diterima dengan lapang dada.

***

Kisah di atas adalah sekelumit potret masalah yang sering dihadapi oleh warga masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil wilayah barat Kecamatan Liukang Tangaya Pangkep. Masih banyak lagi masalah-masalah yang muncul terutama dalam hal pelayanan kesehatan ini. Khususnya menyangkut dokumen-dokumen kelengkapannya. Ada kalanya mereka memiliki BPJS tetapi ternyata datanya tidak sesuai dengan data kependudukan lainnya.

Yang paling sering adalah BPJS yang sudah tidak aktif lagi, entah karena apa. Bahkan ada kasus sampai pasien meminjam BPJS orang lain agar bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. Bisa dibayangkan, bagaimana rasanya harus berbohong dengan identitas orang lain selama masa perawatan di Rumah Sakit.

Proses itu semua benar-benar membutuhkan bantuan dari banyak pihak. Posisi mereka sebagai pendatang yang notabene memiliki tingkat pendidikan rendah dengan bahasa dan kebiasaan yang berbeda, membuat mereka kesulitan untuk berkomunikasi dan melakukan interaksi, terutama dalam masalah pengurusan surat-surat atau dokumen yang dibutuhkan. Keterlibatan orang-orang yang peduli sangat diperlukan, karena tidak ada yang bisa mereka lakukan jika tidak ada orang yang tergerak untuk menolongnya.

Tidak hanya itu, masalah tempat tinggal dan biaya hidup selama tinggal di daerah ini juga menjadi masalah tersendiri. Biasanya mereka akan menumpang di rumah kerabat atau kenalan yang dekat dengan mereka, bahkan yang tidak dekat dengan mereka sekalipun asalkan berasal dari pulau-pulau kecil tersebut akan mereka tumpangi juga. Akan tetapi, tidak semua orang bisa dengan lapang dada ditumpangi oleh banyak orang dalam waktu yang tidak sebentar atau bahkan silih berganti tiada henti. Diibaratkan bis, turun penumpang yang satu, naik penumpang yang lain. Begitu seterusnya.

Belum lagi ditambah dengan segala problem yang dibawanya. Karena tidak mungkin mereka akan mencari penginapan untuk menetap, sementara untuk makan saja keadaannya sangat terbatas. Memang diperlukan dada yang sangat lapang untuk menerima ini sebagai bagian dari skenario hidup yang harus dijalani.

Akan tetapi semua itu tidak bisa dianggap selesai hanya dengan kelapangan dada semata. Ini perlu dicarikan solusi terbaiknya agar tidak menimbulkan masalah-masalah baru. Peran Pemerintah Daerah setempat sangat dibutuhkan, minimal dengan menyediakan tempat tinggal bagi warganya yang datang ke Sumbawa, agar tidak menumpuk di satu tempat yang bisa saja menimbulkan permasalahan lain. Termasuk membangun komunikasi intensif antar Pemerintah Daerah untuk mengadakan perjanjian kerjasama, dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat kepulauan karena mereka punya hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan sebagai warga negara.

Jadi pertanyaan “serumit inikah menjadi orang pulau?”. Menurut Anda bagaimana? Semoga segera mendapatkan solusi terbaik untuk semua. Wallahu’alam Bishawab.(*)

Komentar