Saya dan Istri menyambut di halaman ketika mobil yang mengantar Tia, Salva dan Husna tiba di depan rumah. Mereka diantar ke rumah usai prosesi serah terima dari pengasuh IPDN ke OPD tempat mereka magang.
Istri saya sengaja ijin agak telat masuk kantor hari itu. Sejak usai sholat subuh kami berdua kerja bakti membersihkan rumah. Karena berlokasi di pinggir persawahan, banyak tumbuhan liar yang tumbuh di halaman kami dan harus saya bersihkan. Sementara istri sibuk membersihkan bagian dalam rumah. Saya juga mengecek kondisi kamar mandi, AC, mesin cuci, mesin pompa dan pemanas air. Istri saya tidak ingin tiga anak kami yang baru itu punya kesan tidak menyenangkan ketika pertama kali tiba di rumah yang akan mereka tinggali selama di Sumbawa Barat.
Saya lega ketika usai memasukkan barang ke kamar yang kami siapkan, tidak ada komentar atau ekspresi tidak suka dari ketiganya. Pun bahwa mereka bertiga harus tinggal dalam satu kamar dan salah satu harus tidur di kasur cadangan.
Diantara ketiganya, Tia yang paling aktif. Ia supel dan sedikit manja. Mungkin karena ia anak tunggal. Orang tuanya asli Solo, tapi berbisnis di Jakarta. Tia langsung mengajak kami berfoto di depan rumah untuk dokumentasi sekaligus laporan ke pengasuh mereka. Saya memilih menjadi tukang fotonya. Di kampus, Tia didaulat sebagai lurah asrama putri. Ia bertanggungjawab terhadap semua hal di satu asrama itu. Jika ada Praja yang melakukan pelanggaran, lurah yang lebih dulu dipanggil pengasuh. Kalau pelanggaran berat, Lurah juga dihukum bersama praja yang melanggar.
Sedangkan Salva kalem dan agak pemalu, tetapi sesekali ia mengajak saya bicara. Ia bercerita harus berjuang keras agar bisa masuk IPDN. Anak sulung dari dua bersaudara itu mesti mempersiapkan diri setahun usai tamat SMA dengan mengikuti bimbingan khusus.
Yang paling pendiam adalah Husna. Jarang sekali mendengar Husna bicara kecuali saya menegurnya. Raut sabar dan keibuan sangat menonjol dari wajah Husna. Ia asli Semarang. Ibu kandungnya sudah meninggal dunia. Ayahnya kemudian menikah lagi dan Husna memiliki tiga adik dari pernikahan itu.
Siang itu dihari yang sama, aktifitas saya bertambah, mengantar Tia, Husna, Salva ke kantor dan kemanapun mereka pergi. Sebenarnya di rumah ada motor yang bisa dipakai. Tapi mereka dilarang keras mengendarai kendaraan bermotor, termasuk mobil. Kalau ketahuan pengasuh mereka akan dihukum. Praja laki-laki bahkan dicukur botak rambutnya. Selama di Sumbawa Barat, pengasuh berkeliling ke semua rumah induk semang yang tersebar di seluruh Taliwang hingga Brang Rea. Mereka mengecek perilaku Praja saat berbaur di masyarakat, apakah ada pelanggaran, termasuk soal kedisiplinan mereka di rumah.
Satu-satunya kendaraan yang boleh mereka kendarai hanya sepeda. Istri langsung sibuk meminta saya memperbaiki semua sepeda di gudang. Untuk jaga-jaga kalau saya tidak bisa mengantar.
Satu hal lagi yang tidak boleh dilanggar. Tidak boleh melepas atribut Praja dalam kondisi apapun, kecuali dimasa cuti. Saat bekerja, saat di rumah, saat jalan-jalan ke pantai, bahkan saat tidurpun atribut itu harus dipakai. Saya sampai kasihan karena Tia, Husna dan Salva hanya memakai pakaian yang itu-itu saja yang hampir setiap hari dicuci. Ke kantor memakai PDL, di rumah, jalan-jalan sampai tidur memakai traning, kaos dan jaket IPDN, begitu setiap hari.
“Mungkin jika terjadi banjir misalnya, terus mereka terseret air saat tidur masih bisa dikenali dari atributnya,” kelakar Dokter Hairul, kawan sekaligus Kepala OPD tempat mereka magang.
Disamping itu, gaya hidup tidak boleh berlebihan, termasuk dalam urusan makan. Tia Husna dan Salva makan sedikit sekali. Tujuannya agar berat badan tidak naik. Di IPDN berat badan lebih berarti hukuman.
Namun urusan makan harus sedikit tidak berlaku untuk Jonathan, Syahrul, Murphy dan Harvey, empat praja lelaki yang satu regu dengan Tia Husna dan Salva. Baju seragam ketat membentuk body semakin kekecilan bukan urusan bagi mereka. Mereka hoby makan. Apa saja dilahap. Apalagi istri saya yang kumat hoby masaknya sejak mereka datang tidak mau tau. Semua resep dicoba. Alasannya mesti menyesuaikan dengan lidah Tia, Husna dan Salva yang terbiasa makanan Jawa. Juga lidah Jonathan dan Murphy yang asli Manado, Syahrul yang Gorontalo dan Harvey yang Banten.
Jonathan bertubuh kekar, kulitnya putih dengan hidung mancung dan mata sedikit sipit. Bicaranya keras tapi merdu ketika bernyanyi. Logatnya khas Manado. Ia paling percaya diri, paling bandel dan paling jahil. Ada saja ulahnya yang membuat ramai. Satu hal yang paling saya suka, ia sangat bertanggungjawab dan setia kawan. Ketika ada kegiatan apel malam di Posko atau kegiatan lain, ia tidak akan pulang sebelum memastikan Tia, Husna dan Salva saya jemput. Ia juga rela jalan kaki sendiri dari kos-kosan ke rumah yang berjarak sekitar 1 Km karena hanya ada tiga sepeda. Ia rela tiga sepeda itu dipakai Harvey, Murphy dan Syahrul.
Jonathan dekat dengan Syahrul. Bahkan sangat dekat, ibarat dua sisi mata uang. Dimana ada Jonatan, disitu ada Syahrul. Sama seperti Jonathan, Syahrul lumayan kekar, berkulit agak coklat, berhidung bangir, juga bandel. Bicaranya keras dengan logat Gorontolo yang kental. Tapi Syahrul Cerdas. Ia lulusan dengan nilai tertinggi se Provinsi Gorontalo ketika mendaftar IPDN. Sementata Jonathan harus ikut tes empat tahun berturut-turut sebelum akhirnya lulus. Tidak heran jika ia adalah Praja tertua diantara ratusan Praja seangkatannya.
Syahrul dan Jonathan partner dalam belajar, juga partner dalam membuat pelanggaran. Persahabatan antara keduanya seolah takdir. Lucunya persahabatan itu terjalin turun temurun dari ayah mereka yang sama-sama purna (alumni) IPDN. Ceritanya ayah Jonathan dan Ayah Syahrul satu angkatan. Sama seperti anaknya, Ayah Jonathan juga terkenal bandel, bahkan sempat terkena hukuman turun tingkat karena bandelnya. Ia bersahabat dengan ayah Syahrul. Ketika mengetahui Syahrul lulus IPDN dan anak sahabatnya juga lulus, ayah Syahrul langsung menelpon anaknya. Ia meminta si anak untuk tidak bergaul dengan Jonathan karena takut ketularan nakal. Tapi nasib berkehendak lain. Syahrul justeru lengket dan tak bisa dipisahkan dengan Jonathan.
“Kepintaran ayah saya diambil kakak, nakalnya yang turun ke saya. Ayah Syahrul takut anaknya ketularan nakal, tapi sekarang malah anaknya yang lebih nakal dari saya. Kalau lurah Harvey sudah lepas tangan dari saya Bu,” tutur Jonathan menjawab istri saya yang menasehatinya. Kami semua tertawa mendengar jawaban itu.
Harvey yang ditunjuk menjadi ketua regu kadang harus mengalah menghadapi keduanya. Tapi Harvey sudah terbiasa. Di kampus, sama seperti Tia, Harvey yang sopan dan anak seorang perwira menengah di Mabes TNI, adalah lurah yang bertanggungjawab di asrama putra. Sudah berulang kali ia dihukum karena ulah dua orang warganya, Jonathan dan Syahrul. Keduanya terkenal sebagai praja yang paling sering dihukum botak karena ketahuan merokok dan loncat pagar kampus. Kalau mereka botak, Harvey juga ikut botak.
“Hanya disini (Sumbawa Barat) rambut Jonathan utuh. Kalau di kampus selalu botak dan dia orang botak paling sering dihukum lari siang-siang,” kata Harvey.
Diantara mereka berempat Murphy yang paling kalem bahkan cenderung pemalu. Ia gagah. tubuhnya proporsional berkulit putih ciri khas orang Manado. Murphy bersuara merdu, tetapi jarang mau memperdengarkan suaranya.
Bukan hanya kami sekeluarga, sambutan hangat untuk 228 praja juga datang dari masyarakat Sumbawa Barat. Marching Band GAP IPDN NTB sengaja ditampilkan keliling kota Taliwang, dua hari sebelum para Praja itu kembali ke kampus sebagai salam perpisahan dan ucapan terimakasih atas sambutan hangat warga daerah ini.
Ribuan masyarakat berderet menyaksikan di sepanjang jalan yang dilalui. Tia dan kawan-kawan berhasil membuat masyarakat terpukau. Jonathan yang bertugas sebagai koordinator atraksi sampai meminta kawan-kawannya menambah intensitas atraksi karena bangga melihat antusiasme warga yang menyaksikan. Bupati Sumbawa Barat, HW Musyafirin bersama istri bahkan ikut turun ke jalan menyaksikan penampilan mereka dan berfoto di hadapan formasi atraksi yang dibuat Jonathan dan kawan-kawan.
Usai penampilan, Jonathan, Syahrul, Murphy, Harvey, Tia, Salva dan Husna mendadak terkenal. Meraka dikerubuti warga yang ingin bersalaman dan berfoto. Malamnya kami ditraktir makan malam oleh Dokter Hairul di salah satu cafe di Taliwang. Kami menguasai panggung malam itu. Sampai musisi pengiring kewalahan. Dokter Hairul bernyanyi, Jonathan apalagi. Saya, istri saya, Tia, Syahrul dan Murphy tidak mau ketinggalan. Bahkan Harvey, pemilik suara ‘hanya untuk didengar sendiri’ ikut naik panggung. Semua ceria, semua gembira.
Malam itu saya baru tahu kalau Tia, Husna dan Salva di kampus hanya saling mengenal dengan Jonathan, Syahrul Harvey dan Murphy, tapi tidak dekat. Mereka bahkan jarang bertegur sapa. Mungkin karena asrama praja putra dan putri yang terpisah dan mereka berasal dari kontingen berbeda.
Tapi Saya senang kedatangan ke Sumbawa Barat membuat mereka menjadi dekat seperti saudara. Persaudaraan yang terjalin erat dalam tiga minggu kebersamaan di rumah kami.(Hairil Zakariah)
Komentar