Induk Semang Tiga Minggu (3 – Habis)

FEATURE, KABAR UTAMA348 Dilihat

Saya agak telat tiba di KTC. Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 lewat. Itu adalah hari terakhir 228 Praja IPDN berada di Sumbawa Barat. Mereka akan berangkat pukul 11.00 Wita. Harvey memberitahu saya, bahwa ia dan teman-temannya akan kembali ke kampus di Lombok Tengah, menetap selama lima hari sebelum cuti dan dikirim kembali ke kampus pusat IPDN di Jatinangor.

Pagi itu saya bolak balik ke KTC. Pertama mengantar Tia, Husna dan Salva ke Posko di kantor Sat Pol PP untuk apel pagi. Saat tiba di posko teman-teman mereka sudah berbaris mengikuti apel. Karena mobil yang saya gunakan kecil, saya harus kembali lagi ke rumah mengambil kopor mereka untuk dinaikkan ke bagasi bus. Saat kembali, Salva, Tia dan Husna baru usai dihukum push up karena terlambat mengikuti apel. Saya merasa bersalah karena hukuman itu akibat saya terlambat mengantar. Padahal itu kali terakhir saya bisa mengantar mereka.

Istri sempat mengingatkan agar saya tetap di posko agar tidak ketinggalan acara pelepasan yang akan dilaksanakan di halaman depan Graha Fitrah (kantor Bupati Sumbawa Barat) di Kompleks Kemutar Telu Centre (KTC). Tapi usai mengantar kopor saya harus pulang dulu ke rumah menyelesaikan rutinitas mengurus Luna dan kawan-kawan, peliharaan saya, yang sudah mulai ribut di kandangnya. Tia sempat mengirim WA menanyakan saya datang atau tidak untuk mengantar mereka kembali ke kampus. Saya lalu bergegas.

Bus-bus besar yang akan ditumpangi sudah berderet di jalan samping lapangan Graha Fitrah. Mobil-mobil pengasuh mengikuti di belakang. Ramai. Praja dan induk semang masing – masing beserta para pegawai OPD tempat mereka magang terlihat sedang memanfaatkan moment tersebut untuk foto bersama, bersenda gurau, bahkan bertangis tangisan.

Jonathan, Syahrul, Murphy, dan Harvey terlihat sedang berfoto bersama istri saya dan sejumlah pegawai di kantor tempat mereka magang. Mereka punya ikatan emosional yang kuat dengan seluruh pegawai disana.

Begitu melihat saya datang, Tia, Husna dan Salva langsung menghampiri. Mata mereka sembab karena menangis. Hampir semua orang yang hadir saat itu menangis. Sebagai orang yang sehari-hari bekerja berkeliling saya mengenal sebagian besar induk semang yang hadir, terutama yang laki-laki. Dan hari itu untuk pertama kali saya melihat para lelaki itu menangis.

Saya sendiri berusaha untuk tampak tegar dan tidak menangis. Tapi saya kalah dari Harvey dan Murphy yang tetap bisa tersenyum ketika berpamitan. Jonathan meski tetap aktif dan menjadi pusat perhatian karena ulahnya, juga menangis. Sama dengan Syahrul ketika merangkul saya.

Perasaan saya tak bisa diajak kompromi. Pertahanan saya jebol. Perasaan itu terkonversi menjadi air yang keluar melalui mata dan suara yang berubah parau. Ketika Husna, Tia dan Salva mencium tangan saya sambil terisak, saya tak lagi mampu membendung. Seperti ada yang hilang ketika saya dan istri akan ditinggal pergi oleh tujuh orang anak, meski mereka hanya tiga minggu membersamai kami. Perasaan persis sama pernah saya rasakan ketika empat tahun lalu kami melepas si sulung Aca’ Qay untuk mondok ke Jawa.

Saya berusaha mengalihkan kesedihan dengan ngobrol bersama Faruk, kawan saya yang juga datang bersama istri dan anaknya. Faruk adalah wartawan senior di salah satu media cetak terkemuka di NTB. Sementara istrinya, Ulfa, adalah pendamping desa. Mereka sudah seperti keluarga bagi kami. Mereka juga punya hubungan emosional yang kuat dengan Tia, Salva, Husna, Jonathan, Syahrul, Murphy dan Harvey. Faruk sering saya mintai tolong antar jemput anak-anak ketika saya berhalangan. Ia dan keluarganya tidak sekedar hadir, tapi sangat membantu selama tiga minggu kami menjadi induk semang. Anak-anak bahkan memanggil mereka Om dan Tante Semang.

Beberapa pegawai yang turut mengantar ikut nimbrung bersama kami. Istri saya terlihat sudah berdiri di samping tempat parkir utama Graha Fitrah yang akan dilalui bus. Induk semang lainnya juga memadati tempat itu. Mereka sepertinya tak ingin kehilangan moment terakhir melihat anak semang mereka pergi.

Tak berselang lama, seorang pengasuh memberi komando agar semua Praja naik. Mereka diperintahkan berjalan berbaris menuju bus yang akan segera berangkat. Bupati Sumbawa Barat bersama sejumlah pejabat lain nampak berdiri di teras depan Graha Fitrah sambil melambai tanda perpisahan.

Tapi Jonathan berlari keluar dari barisan ke arah kami. Dari jauh saya melihat ia menangis. Saya kembali berusaha sekuat tenaga agar tidak ikut menangis. Saya kalah lagi. Mata saya lagi-lagi tak bisa diajak kompromi. Airnya tumpah bersamaan dengan dekapan erat Jonathan yang merangkul saya sambil terisak. Saya hanya mampu berbisik parau agar Jonathan jangan lagi terlalu bandel karena ia bersama Syahrul, Murphy dan Harvey saya minta menjaga Tia, Husna dan Salva. Mereka kini bukan sekedar berteman, tapi bersaudara. Mereka semua harus sukses. Jonathan hanya bisa mengangguk sembari melepas rangkulannya, lalu setengah berlari menuju bus.

Saya langsung pulang kerumah dari KTC. Istri kembali ke kantor. Sepanjang jalan mobil terasa kosong setelah selama tiga minggu terbiasa memuat Tia, Husna dan Salva. Di dalam mobil saat mengantar ke manapun saya biasa ngobrol dengan mereka. Kadang mereka hanya ngobrol bertiga sambil bersenda gurau dalam bahasa Jawa yang tidak saya pahami.

Tiba di rumah perasaan kosong menjadi lebih kuat. Sepi. Tidak seperti tiga minggu sebelumnya. Tapi ada satu hal yang membuat saya bahagia. Sekarang kami punya 10 anak. Tiga orang sedang menuntut ilmu di Pondok Pesantren dan tujuh orang di IPDN. Suatu hari kelak mereka pasti pulang membuat rumah ini ramai kembali.(Hairil Zakariah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses