Belumlah genap sepekan pasca tragedi mangkatnya seorang Robert karena suatu kejadian yang tragis menimpanya. Kenyataan yang tak bisa dimungkiri saat dia terlihat memutuskan untuk meloncat dari sebuah menara masjid Agung Darussalam, Sumbawa Barat, yang membawanya pada akhir kehidupan. Meninggal. Fenomena “bunuh diri” nya cukup menyentak karena kejadian tersebut disaksikan oleh banyak orang yang akan bubar pasca Shalat Idul Adha.
Suatu kejadian yang mengejutkan karena momen yang dipilih ialah bertepatan dengan perayaan hari besar Islam. Tempat yang dipilih adalah masjid, muara dari sujud semua umat. Insan yang melakukannya adalah potret manusia Sumbawa Barat yang cukup dikenal oleh sebagian kalangan.
Perkara hidup mati seseorang itu memang otoritas Allah, Tuhan semesta alam. Kita sebagai manusia tak mampu memikirkan hal itu. Yang bisa dipikirkan manusia adalah bagaimana suatu fenomena “bunuh diri”’ kemudian menghinggapi pikiran manusia. Kita diberikan kemampuan nalar oleh Tuhan untuk memikirkan hal-hal yang mampu kita jangkau, bukan semata-mata untuk menyerahkan segala kejadian tanpa bertanya secara sosiologis.
Lalu, siapa Robert atau Syahrul? Mungkin bagi segelintir orang dia bukan siapa-siapa, tak berpangkat, tak berjabatan, atau terkenal. Namun, saya mengenalnya dari sekumpulan orang yang mengatakan dia “pejuang”, tukang demo, selalu bersuara atas hal yang tak sesuai nuraninya. Saya mengenal Robert mungkin hanya dalam hitungan 1-2 tahun, berdialog hanya dalam hitungan jari, berpapasan di jalan pun hanya sesekali.
Namun, kepergiannya, membuat hati saya tergerak untuk menuliskan tentangnya. Cukup kaget iya. Terakhir bertemu dengannya saat dia datang mengunjungi saya beberapa minggu lalu. Dia selalu bercerita tentang kegetolannya menagih janji tempat dia bekerja, yang harusnya layak dia dapatkan. Tentang loyalitasnya yang tak dianggap. Orang-orang yang membuatnya kesal dan kekhilafan apa yang dia lakukan. Penuh semangat. Tentang hasil panen yang tidak seberapa. Yah, saya hanya mampu mendengar dan saling bertukar saran.
Kira-kira apa yang membuatnya berpikir untuk “bunuh diri”, jika memang itu niatannya? Saya ingin berandai-andai, tapi bukan khayalan yang tak berdasar. Agaknya banyak yang mengenal Robert, dengan karakternya, dengan apa yang dia alami selama ini. Setiap orang punya masalah, termasuk dia, dengan segala keterbatasan dan kepusingannya, tapi dia kelihatan tetap bersemangat untuk menjalani hidup. Ibarat kata, susah dipercaya jika rasa putus asanya telah mencapai titik kulminasi sehingga dia memutuskan untuk terjun. Dan mati.
Namun, mungkin dia tak ingin mati dengan cara biasa saja. Dia sudah terbiasa menjadi simbol dari orang-orang biasa yang berjuang dan punya aksi. Dia sudah identik sebagai tukang protes, tukang gugat, yang selalu mengingatkan bahwa sebagai sesama manusia kita harus saling berbagi. Dia ingin didengar di tengah kebisingan dan riuhnya kesibukan semua orang. Maka terjadilah momen disaat dia meloncat, entah apapun motifnya, dan berhasil menarik perhatian semua orang.
Apa artinya? Fenomena yang dia lakukan tersebut terllihat seperti sebuah petanda dan penanda. Saya melihat jeratan kemiskinan dan kesulitan yang dihadapinya mewakili ribuan orang lainnya, terutama yang ada di Sumbawa Barat. Fenomena tragis yang semoga tidak akan terjadi lagi pada orang lain.
Peristiwa ini mengingatkan kita, Apakah kita sudah saling berbagi? Apakah kita sudah saling peduli terhadap manusia lainnya? Robert menyadarkan kita bahwa yang masih banyak terjadi adalah pemiskinan (proses struktural yang mengakibatkan kemiskinan merajalela), bukan kemiskinan itu sendiri. Semoga saja, kepekaaan dan kepedulian tentang makna sebuah keadilan bisa kita resapi. Agar apa yang dikatakan Bupati bahwa 5 tahun kedepan tidak boleh lagi ada orang miskin di Sumbawa Barat bisa tercapai.
Akhirnya, saya menuliskan ini sebagai tanda perpisahan kepada Robert, seorang yang sangat singkat saya kenal, tapi setidaknya dia menyisakan banyak hal dalam ingatan saya tentang hidup, tentang kerasnya sebuah perlawanan, tentang ketidakadilan yang masih merajalela. Setidaknya, bagi sebagian orang, dia simbol perjuangan hidup, simbol bahwa pemiskinan jangan sampai membutakan mata hati, untuk saling berbagi. Engkau telah mengingatkan kami yang telah lacur lupa atas kepedihan hidup orang-orang di sekitar. Kami asik mengukir hidup sendiri, mengumpulkan rupiah demi rupiah, dan luput untuk menoleh pada sekitar. Bahwa ada banyak orang yang mengangis tiap harinya, berjalan dengan gontai untuk mengais rezeki yang tak segampang kami dapatkan.
Berbahagialah Robert karena dirimu telah memilih. Dan engkau sudah memilih kesunyianmu sendiri. Bukankah kata Chairil Anwar, nasib adalah kesunyian masing-masing?
oleh : Nurhikmah Ketua Komunitas Literasi Anorawi
Komentar