KabarNTB, Sumbawa Barat – Sejumlah Karyawan memprotes kebijakan dan mengungkap kebobrokan management Grand Royal Taliwang Hotel (GRTH), Sumbawa Barat, NTB, karena dinilai tidak profesional dan merugikan mereka.
Kebijakan tersebut terkait mutasi (pemindahan posisi), rekrutmen karyawan baru, persoalan upah, hingga sikap management yang terkesan melecehkan karyawan.
Sikap tidak profesional management hotel bintang tiga pertama di KSB itu dialami Henny, mantan marketing executive yang secara sepihak dimutasi ke posisi sebagai humas karaoke (milik GRTH). Heny menyatakan proses mutasi dirinya itu terjadi mendadak. Ia menuturkan, pada bulan juli 2017 lalu, owner GRTH, menelponnya dan meminta agar menghidupkan kembali layanan karaoke yang ada dihotel dimaksud, setelah sekian lama tutup.
Meski fasilitas karaoke yang ada sudah tidak refresentatif untuk memberikan pelayanan maksimal kepada konsumen dan ia harus bekerja sendiri, Henny mengaku menerima perpindahan itu. Namun sampai sekarang tidak ada surat pernyataan resmi dari owner atau manegement hotel yang menegaskan mengenai pemindahan tersebut.
“Kalau profesional pasti ada surat keputusan atau sejenisnya yang memberhentikan saya dari jabatan marketing dan dipercaya mengelola karaoke,” urainya.
Karena tidak ada surat resmi itu, Henny dalam beberapa bulan terakhir tetap menjalankan tugas sebagai marketing, termasuk meloby klien yang ingin menyelenggarakan event di GRTH. Terakhir ia berhasil mencapai kesepakatan dengan Bank NTB Taliwang untuk pelaksanaan kegiatan bank tersebut di GRTH pada tanggal 6 September 2017 lalu.
Tetapi tanggal 5 September 2017, sehari sebelum event digelar, owner GRTH menyurati Bank NTB menyatakan bahwa marketing telah diganti dengan orang lain (bukan lagi Henny). Dalam surat itu juga di paparkan tentang kondisi GRTH yang sedang mengalami kesulitan (financial) dan tidak mengalami peningkatan (tingkat hunian).
Kondisi itu berlanjut dengan pengambilalihan ruang kerja Henny sebagai marketing secara sepihak oleh management. Kunci pintu ruang kerja itu diganti sehingga ia tidak bisa masuk. Sebelumnya jaringan internet juga diputus sehingga tidak jarang ia menyelesaikan pekerjaan dirumah dengan fasilitas pribadi. Meski sudah ia surati karena ingin mengambil barang pribadinya didalam ruangan, kata Heny, management tetap mengunci pintu ruangan tersebut.
“Sikap ini yang membuat saya merasa dilecehkan. Sikap serupa juga dilakukan kepada beberapa karyawan lain. Ada oknum di internal management yang bermain dan ingin menyingkirkan kami, para karyawan lokal yang sudah lama bekerja disini,” ungkap Henny diamini sejumlah rekannya sesama karyawan.
Beberapa karyawan lain juga mengakui kondisi tersebut. Ada karyawan yang sebelumnya bekerja sebagai security dipindah menjadi cleaning service, meski ia sudah bekerja sejak pertama GRTH beroperasi.
Selain sikap tidak profesional, karyawan juga mengungkap perihal upah yang berada dibawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan tidak adanya BPJS Kesehatan maupun BPJS tenaga kerja yang disiapkan management untuk karyawan. Disatu sisi kegiatan rekrutmen karyawan baru tetap berlangsung. Ada pula karyawan yang mengungkap dugaan pungli oleh oknum tertentu dalam rekrutmen tenaga security hotel dengan nilai bervariasi.
“Ini juga aneh, setiap kami minta kenaikan gaji management selalu beralasan kondisi tidak memungkinkan. Tapi ada rekrutmen pekerja baru,” ungkap mereka.
Mereka menduga pihak management lewat oknum-oknum di internal sengaja menciptakan kondisi tidak nyaman terhadap karyawan agar mereka mengundurkan diri secara sukarela sehingga management terbebas dari kewajiban untuk membayar hak-hak karyawan.
Saat ini jumlah karyawan GRTH tersisa sekitar 30-an orang dari hampir 100 orang pada awal dioperasikan pada 2010.
Management GRTH yang hendak dikonfirmasi sejumlah wartawan terkait persoalan dimaksud Selasa siang, tidak berhasil ditemui.(EZ)
Komentar