Perubahan Perda PT Gerbang NTB Emas : FPDIP Minta Audit Khusus, FPKS Menolak

KabarNTB, Mataram – Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F PDIP) DPRD NTB mendesak eksekutif untuk meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit khusus terhadap likuiditas PT Gerbang NTB Emas (PTGNE), khususnya terkait dengan kemampuan keuangan dan sumber daya manusia (SDM) di perusahaan plat merah itu.

Desakan audit itu disampaikan juru bicara FPDIP, Ahmad Yadiansyah, dalam penyampaian pandangan umum fraksi terkait terhadap usulan perubahan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2011 tentang PTGNE dan tiga usulan perubahan tiga Perda lainnya di rapat paripurna DPRD NTB, Rabu 20 September 2017.

ksb

FPDIP menyatakan, audit khusus penting dilakukan karena sejak dibentuk PTGNE dinilai belum memberikan kontribusi nyata untuk daerah.

“Karena biaya operasional yang harus dikeluarkan, khususnya biaya tetap yakni gaji karyawan cukup besar,” ucap Ahmad Yadiansyah.

Suasana sidang paripurna DPRD NTB

FPDIP juga menuding, karyawan yang direkrut PTGNE merupakan kolega dan keluarga pejabat. Para karyawan itu dinilai tidak dapat memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan dan mengembangkan perusahaan.

“Oleh karena itu FPDIP menolak membahas rancangan perubahan Perda ini sebelum dilakukan audit khusus oleh BPK. FPDIP tidak ingin kasus perusahaan daerah Wisaya Yasa terulang di PTGNE. Setiap tahun kita memberikan sunyikan dana (kepada PT Wisaya Yasa) tetapi perusahaan ini akhirnya kolaps karena biaya operasional khususnya gaji karyawan yang sangat tinggi,” tegas Ahmad Yadiansyah.

Penolakan serupa, juga disuarakan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS). Dalam pendangan umum yang dibacakan HL Pattimura Farhan, menyatakan pembentukan BUMD sesuai pasal 331 UU No 23 Tahun 2014 adalah untuk memperoleh laba/keuntungan.

Dari neraca laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2016, total penyertaan hingga tahun anggaran 2016 bagi PT GNE adalah sebesar 20,327 Milyar. Dari total penyertaan modal tersebut, sejauh ini kemampuan dari PT GNE untuk memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah sebagai kekayaan daerah yang dipisahkan, belum bisa menembus 5% dari penyertaan modal.

“Pada tahun 2016, PT GNE dilaporkan hanya mampu memberikan kontribusi 1 Milyar atau setara 4,9%. Bahkan pada APBD Perubahan Tahun Anggaran 2017 hanya bisa memberikan deviden 700 Juta dari 1 M yang direncanakan pada APBD Murni 2017,” bebernya.

Dengan margin kontribusi dibawah 5%, FPKS menganggap masih lebih menguntungkan bagi pemerintah daerah untuk mendepositokan uangnya di bank dengan tingkat kepastian margin paling sedikit 5%. Kepastian margin tersebut tak perlu dibayangi oleh kecemasan atas kinerja perusda yang belum memuaskan.

“Jadi, laba seperti apa yang dijanjikan oleh PT GNE untuk aktivitas tambahan modal dasar ini? Apalagi sebenarnya jika swasta mampu masuk ke sektor usaha yang akan digarap oleh PT GNE? Untuk apa perusahaan daerah ini berkompetisi dengan swasta? Mohon penjelasan,” cetus HL Pattimura.

Rancangan perubahan Perda tentang PTGNE oleh eksekutif pada dasarnya berisi usulan perubahan besaran modal dasar perusahaan itu. FPKS menyatakan usulan tersebut tidak dilengkapi dengan studi kelayakan usaha atas rencana PT GNE untuk mengembangkan dan membangun bisnis berbasis potensi daerah, sebagaimana mandat dalam pasal 331 UU No 23 Tahun 2014.

Juga tidak dilengkapi dengan analisis portofolio, analisis risiko, laporan posisi portofolio investasi; ataupun laporan hasil investasi atas kegiatan usaha PT GNE selama ini sebagaimana mandat dalam Permendagri 52 tahun 2012.

“Atas dasar itu, FPKS menolak ranperda perubahan atas peraturan daerah nomor 5 tahun 2011 tentang PT Gerbang Emas. Agar pemerintah daerah mengevaluasi aktivitas investasinya yang dalam dua tahun terakhir ini belum menggembirakan utamanya terkait dengan belum dibayarnya divestasi saham milik daerah di PT NNT juga meruginya aktivitas investasi di BIL,” demikian HL Pattimura Farhan.(Bi)

Komentar