Kisah Setia Mbah Mun, Penjual Roti Keliling di Kota Sumbawa

Seorang lelaki tua berkacamata berjalan menyusuri jalan sambil mendorong gerobak berisi roti. Di Taman Mangga, Kota Sumbawa, ia berhenti menyandarkan gerobak rotinya, sambil menyeka peluh dengan handuk kecil yang dikalungkan di leher. Dia adalah Asimun yang biasa dipanggil Mbah Mun, seorang penjual roti keliling yang setiap hari menyusuri jalanan di seputar Kota Sumbawa.

***

Profesi sebagai penjual roti keliling sudah dilakoni Mbah Mun sejak tahun 1975. Setiap hari, mulai pukul 06.00 Wita ia sudah berkeliling menyusuri jalan hampir di seluruh perkampungan dalam kota. Tidak heran jika warga Kota Sumbawa sangat mengenal Mbah Mun. Minimal mengenal wajahnya. Di usianya yang sekarang menginjak 77 Tahun, tidak banyak yang berubah dari sosok Mbah Mun. Gaya dan kacamatanya masih tetap sama. Hanya kondisi fisiknya yang sekarang berubah karena usia yang sudah senja. Semangatnya bekerja keras mencari nafkah untuk keluarga tidak pernah goyah.

Asimun (Mbah Mun) kakek penjual roti yang sejak tahun 1977 hingga sekarang tetap setia menjual roti keliling di Kota Sumbawa

“Saya pertama kali menginjak Pulau Sumbawa pada tahun 1964. Waktu pertama kesini, saya kerja serabutan. Pernah juga menjadi mandor proyek, tapi akhirnya berhenti dan menjadi penjual roti keliling hingga sekarang,” ungkap Mbah Mun, kepada Jack Zakariah, wartawan KabarNTB.com yang menemuinya di Taman Mangga Sumbawa, 26 Februari lalu.

Mbah Mun mengaku wilayah yang menjadi lokasi jualannya sudah tidak seperti dulu lagi. Dulu ketika masih muda dan sehat, Ia sanggup berjalan mendorong gerobak roti hampir ke seluruh penjuru Kota Sumbawa. “Kalau dulu saya keliling mulai dari Labuhan Sumbawa hingga dalam kota. Namun sekarang saya paling mampu keliling 10 KM saja, itupun dari pagi hingga menjelang sore hari,” ungkapnya.

Bukan tanpa alasan, Mbah Mun memilih setia sebagai penjual roti keliling. Ia telah menghidupi delapan orang anak dari dua orang istri dari penghasilannya menjual roti-roti tersebut. “Dari delapan anak, lima sudah meninggal. Demikian pula istri pertama saya. Sekarang saya tinggal bersama istri kedua. Sedang tiga orang anak yang masih hidup masing-masing sudah berkeluarga,” tutur Mbah Mun.

Dalam sehari, penghasilan Mbah Mun dari menjual roti tidak menentu. Kadang laku Rp 100.000, kadang kurang dari itu. Itupun, ia harus menyetor hasil jualan kepada pemilik roti yang dijualnya. Namun beban hidup yang kian berat, ditambah penghasilan yang pas-pasan tidak membuat Mbah Mun putus asa. Ia bersyukur masih tetap sehat dan bisa tinggal di rumah yang dibangunnya sendiri dengan hasil menabung dari jerih payah menjual roti, kendati rumah tersebut berdiri diatas lahan milik orang yang disewanya. .

“Kami tinggal di rumah yang saya bangun sendiri di atas tanah yang dikontrakkan ke saya oleh pemiliknya. Untung saya tidak membayar air dan listrik, karna tetap dibantu oleh anak yang ketiganya tinggal di Kota Sumbawa. Biaya makan dan kontrak lahan setiap bulan dari hasil jualan roti yang saya tabung. Saya tetap syukur karna masih diberi umur panjang dan kesehatan diusia yang tidak muda lagi,” ungkapnya.

Diusianya yang sudah sepuh, Mbah Mun tetap bersemangat untuk mencari rezeki menghidupi keluarganya. Menurutnya yang paling penting selain mencari nafkah, jangan pernah lupa akan kewajiban shalat lima waktu. “Bekerja juga bagian dari ibadah, namun jangan sekali-kali melupakan kewajiban lima waktu kita kepada Allah. Juga jangan pernah berputus asa serta berbuat baiklah kepada sesama, niscaya perjalanan hidup kita akan mendapat safaat dan ridho Allah. Itu yang tetap saya pegang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari saya,” pungkas Mbah Mun.(JK)

Komentar