Malam itu, seminggu yang lalu, untuk pertama kali saya dan istri difoto di studio. Ada banyak foto kami sekeluarga. Tetapi itu foto hasil selfi, dijepret kawan atau jepret sendiri dengan gaya suka-suka.
Sementara malam itu ada fotographer professional sekaligus sebagai penata gaya yang memotret kami. Tidak cuma saya dan istri. Ada 10 orang lain. Sepasang suami istri beserta anak lelaki mereka berumur 4 tahun yang hiperaktif dan tujuh orang anak muda, tiga perempuan, empat laki-laki.
Ketujuhnya generasi X. Usianya antara 18 sampai 22 tahun. Yang perempuan bertubuh proporsional. Sementara yang laki-laki bertubuh tegap, atletis dan berambut cepak. Berseragam PDL lengkap bukan karena mereka personel TNI atau Polisi. Mereka adalah Praja IPDN (Institute Pemerintahan Dalam Negeri) tingkat dua yang sedang menjalani masa pengabdian di Kabupaten Sumbawa Barat.
Yang perempuan, Tia, Husna dan Salva. Ketiganya dari Provinsi Jawa Tengah, hanya beda kota. Tia di Solo, Husna di Semarang, sedang Salva di Tegal. Ketiganya tinggal bersama kami di rumah. Empat yang laki-laki adalah Jonathan, Syahrul, Murphy dan Harvey. Jonathan dan Murphy dari Manado Sulawesi Utara, Syahrul dari Provinsi Gorontalo dan Harvey dari Banten, tapi mendaftar masuk IPDN melalui Provinsi Kalimantan Selatan.
Waktu istri saya, satu bulan sebelumnya, memberitahu ada Praja IPDN yang akan tinggal bersama kami selama 21 hari saya sempat protes. Bukan menolak, tapi keadaan rumah kami yang lebih banyak tak terurus membuat saya ragu. Apalagi Praja itu berjumlah tujuh orang dan dari seluruh Indonesia pula.
Rumah kami cukup besar dengan tiga kamar tidur. Letaknya di pinggir area persawahan di Taliwang. Rumah induk adalah rumah panggung kayu. Disampingnya kami bangun dapur plus kamar tidur tambahan yang terkoneksi langsung lewat tangga batu berailling kayu dengan rumah induk. Ruang bawah rumah induk dimanfaatkan istri untuk tempat mencuci dan gudang. Di depannya ada gazebo cukup besar yang biasa saya gunakan ketika kumpul bersama teman-teman.
Sejak tiga tahun lalu, kami hanya tinggal berdua di rumah dengan halaman cukup luas itu. Anak kami, Aca’ Qay dan Abang Hafidz bersekolah dan tinggal di asrama pondok pesantren. Ada pula Kakak Adinda, keponakan yang sejak SMP tinggal bersama kami. Namun Adinda sedang menjalani masa pengabdian setahun usai menamatkan pendidikan jenjang Aliyah di Pondok Pesantren. Ia juga tinggal di asrama.
Ketika istri berangkat kerja dan saya memulai aktifitas di pagi hari, rumah itu praktis kosong. Istri kadang sempat pulang di jam istirahat siang, tapi kebanyakan tidak pulang dan mesti beristirahat di kantor. Bahkan jika pekerjaan sedang banyak ia baru pulang tengah malam karena lembur. Yang jadi korban rumah kami, tak terurus. Sementara saya, seperti lelaki lain, tak bisa diandalkan untuk mengurus rumah.
Karena sudah diputuskan dalam rapat di kantor istri, saya akhirnya tak bisa protes. Pertimbangannya, Praja tersebut wajib tinggal di rumah warga sebagai induk semang sekaligus agar bisa berbaur dengan masyarakat.
Ada 228 orang Praja IPDN kampus NTB di Lombok Tengah yang ikut dalam program pengabdian di Sumbawa Barat pada 19 Juni hingga 3 Juli 2023. Mereka dibagi untuk magang di semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Tujuh orang per OPD. Termasuk OPD tempat istri saya bekerja. Karena keterbatasan tempat, istri saya hanya sanggup menampung tiga orang. Jadilah yang perempuan tinggal bersama kami. Sementara yang laki-laki di tempatkan di rumah kos milik Fahmi dan Vita, pasangan suami istri yang ikut berfoto bersama kami malam itu.
Saya juga sempat protes ketika istri menyampaikan bahwa kami diajak foto di studio oleh anak-anak. Masalahnya saya tidak bisa bergaya, apalagi bergaya sambil difoto. Tapi karena foto itu akan menjadi kenang-kenangan buat mereka, saya mengalah.
Sesi foto bersama berlangsung lebih dari satu jam. Kami tiba di studio lewat dari pukul 22.00 wita dan baru pulang hampir tengah malam. Fotografer sekaligus penata gayanya tidak terlalu ramah. Saya beberapa kali disemprot karena bergaya tidak matching dengan gaya orang lain.
Meski cukup membuat stress, sesi itu berhasil saya lalui. Istri sempat mengajak untuk berfoto berdua saja mumpung kami sedang di studio. Tapi saya tolak. Saya sudah tak sanggup lagi membentuk senyum. Bibir saya sudah terasa kaku karena lebih dari satu jam dipaksa selalu senyum saat foto bersama dalam berbagai pose. Saya memilih merokok di luar studio untuk menghilangkan kekakuan itu.(Hairil Zakariah)
Komentar