KabarNTB, Matatam – Penjabat Gubernur NTB, HL Gita Ariadi diingatkan untuk tidak bekerja santai, tetapi mesti segera membenahi tata kelola birokrasi dan keuangan daerah.
Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, H Rachmat Hidayat menegaskan, masa kerja efektif Pj Gubernur yang hanya 18 bulan bukan waktu yang panjang sehingga tak ada waktu buat berleha-leha atau bersantai. Apalagi ada sejumlah persoalan sangat krusial peninggalan masa kepemimpinan Gubernur – Wakil Gubernur sebelumnya, Zulkieflimansyah – Sitti Rohmi Djalillah yang harus segera dibenahi.
“Delapan belas bulan itu waktu yang sangat pendek. Sejumlah persoalan krusial peninggalan Zul-Rohmi jika tidak segera dibenahi akan jadi persoalan yang secara mendasar akan cukup mengganggu,” ujar Rachmat Hidayat, dalam keterangan tertulis, Rabu 4 Oktober 2023.
Sejumlah persoalan krusial yang dimaksud Rachmat antara lain kondisi birokrasi yang sedang tidak baik-baik saja dan belanja anggaran pembangunan dalam APBD NTB yang jauh dari kata tertib.
“Termasuk juga penyelenggaraan kontestasi politik, pemilu dan pilkada, hingga perhelatan program pembangunan nasional di NTB. Disamping isu kemiskinan yang menjadi persoalan mendasar bagi NTB,” bebernya.
Rachmat menegaskan, birokrasi dalam skema pemerintahan daerah adalah entitas pelayanan paling utama, karena hampir semua bentuk pelayanan publik ada di daerah. Karena itu, kata dia, dibutuhkan birokrasi yang sehat secara struktur dan kuat dalam kinerja.
Politisi senior PDI Perjuangan itu menilai, dalam masa kepemimpinan Gubernur Zulkieflimansyah dan Wakil Gubernur Sitti Rohmi Djalilah lima tahun terakhir, birokrasi terjebak dalam praktik tata kelola yang buruk. Itu tergambar dari intensitas mutasi pegawai yang sangat tinggi selama lima tahun pasangan tersebut memimpin NTB.
“Bayangkan, dalam masa lima tahun kepemimpinan Zul-Rohmi, proses mutasi dilaksanakan sedikitnya 40 kali. Artinya ada delapan hingga sembilan kali mutasi setiap tahun. Bandingkan dengan kepemimpinan Gubernur NTB sebelumnya yakni TGB. Mutasi dalam 10 tahun kepemimpinan TGB hanya 37 kali, yakni 20 kali dalam periode pertama, dan hanya 17 kali dalam periode kedua,” urai Rachmat.
Mengenai kemiskinan, Ia mengungkap, saat periode pertama kepemimpinan TGB tahun 2008, angka kemiskinan berada di angka 23,81 persen. Angka ini mampu ditekan saat TGB mengakhiri masa kepemimpinannya tahun 2018 pada angka 14,63 persen atau turun 9,18 persen. Sehingga jika dirata-ratakan, kemiskinan NTB di era TGB turun 0,918 persen setiap tahun atau turun 4,59 persen setiap lima tahun.
“Bandingkan dengan kinerja birokrasi Zul-Rohmi yang saat mengakhiri masa jabatannya, angka kemiskinan NTB 13,85 persen dari angka kemiskinan saat pertama menjabat yakni 14,63 persen. Artinya rata-rata pertahun hanya mampu turun 0,156 persen,” tegasnya.
Kemampuan birokrasi dalam menyelesaikan proyek juga tak lepas disorot Rachmat. Ia mengungkap data E-Monev Provinsi NTB dimana dari 82 proyek strategis tahun 2023, sampai menjelang akhir tahun ini atau memasuki Triwulan IV, anggaran pada Oktober ini, masih tersisa 41 proyek yang belum dikerjakan.
“Dari 41 proyek itu, 30 proyek belum mengajukan tender dan 11 baru selesai tender. Tentu hal ini akan mengancam serapan anggaran dan capaian sasaran pembangunan,” tandas Anggota Komisi VIII DPR RI ini.
Bidang pengelolaan anggaran daerah selama lima tahun terakhir juga dikritisi Rachmat. Menurutnya, tahun 2022 memang pendapatan daerah menembus angka Rp 2,28 triliun. Tetapi angka tersebut masih didominasi pendapatan transfer yang mencapai 56,28 persen, dan PAD hanya 43,11%. Hal ini belum termasuk karut marut belanja APBD NTB. Misalnya soal utang Pemprov NTB ke rekanan yang per Mei 2023 masih tercatat sekitar Rp 223 miliar yang tersebar di 10 OPD.
“Bagaimana dengan isu transparansi dan anti korupsi? Sami mawon itu. Kepala Dinas ESDM dan kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan harus masuk penjara. Ini belum termasuk kalau kita bicara pola penetapan pejabat yang lebih banyak beraroma kepentingan poitik dan isu nepotisme,” cetusnya.
Dengan potret yang sama sekali tidak membanggakan tersebut, sambung Rachmat, artinya ada perkerjaan rumah yang sangat besar di tangan Pj Gubernur NTB yang harus diselesaikan dalam konteks perbaikan birokrasi. Karena itu, duet Pj Gubernur NTB dan Pj Sekretaris Daerah NTB H Fathurrahman yang kini sedang menunggu hari pelantikan, harus dilakukan secara serius dan penuh kerja keras.
“Psikologi birokrasi yang telah rusak harus diperbaiki. Pola penentuan pejabat harus berbasis pada merit system, berbasis pada kapasitas dan kapabilitas ASN yang ada,” tandasnya.
Rachmat menekankan, bagaimana komposisi birokrasi haruslah berupa “birokrasi pelangi” yakni dari berbagai suku yang ada di NTB. Tidak peduli apa sukunya, jika ASN tersebut memiliki kapasitas dan kapabilitas, maka kata Rachmat, harus diberikan kesempatan.
“Prinsip-prinsip clean government and good governance dengan basis merit system harus mutlak menjadi acuan penataan birokrasi,” katanya.
Disatu sisi, Rachmat juga menjelaskan bahwa Pj Gubernur bukanlah jabatan bebas nilai, sehingga setiap saat dievaluasi. Hal ini sesuai ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 yang menegaskan setiap tiga bulan kinerja Pj Gubernur akan dievaluasi.
Karena itu Ia mengingatkan, Pj Gubernur tidak main-main dalam menjalankan tugas dan harus menjauhkan kepentingan politik dan pribadi.
“Dalam isu ekonomi misalnya, bagaimana inflasi yang cukup tinggi kini terjadi, harus mampu juga dikendalikan Pj Gubernur. Termasuk dalam menjalankan tugas dan kewenangan mengawal Pemilu dan Pilkada di NTB, harus membangun koordinasi dengan Kemendagri, dengan Pj Sekda, dan semua Organisasi Perangkat Daerah serta masyarakat. Sebab, jika dianggap tidak mampu, bisa saja Pj Gubernur dicopot di tengah jalan,” tegasnya.
Rachmat memastikan PDIP akan memberikan dukungan untuk pelaksanaan tugas Pj Gubernur, tapi juga tidak akan pernah lupa dengan pengawasan yang kritis, konstruktif, dan objektif.
“Ini demi pembangunan daerah,” tandasnya.(EZ/*)
Komentar