Mustakim Patawari : 21 Tahun Ikhtiar Jalan Lurus (3) – KSB Lahir

Paska gerakan reformasi, Mei 1998, bangsa Indonesia memasuki fase konsolidasi demokrasi yang berjalan simultan dgn penataan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu buah reformasi adalah terbuka kesempatan warga negara untuk mendirikan partai politik dengan tidak lagi terikat pada asaz tunggal, Pancasila. Akan tetapi tetap dengan semangat Pancasila sebagai dasar negara.

Salah satu partai yang lahir dari rahim reformasi adalah Partai Keadilan (PK) yang dalam perjalanannya berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Saya terlibat aktif di PK dan menjalani proses pengkaderan hingga dipercaya membangun partai dakwah itu di Sumbawa dan Sumbawa Barat (KSB). Saya bersyukur PKS saat ini menjadi salah satu partai besar di dua kabupaten bersaudara ini.

Pada masa masa awal reformasi, saya masih berdomisili di Jakarta. Sambil  menempuh studi di Fakultas Pertanian UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta), saya juga terdaftar dan aktif kuliah di FISIP Universitas Indonesia (UI) jurusan krimonologi. Disamping itu, sebagai angkatan muda Sumbawa yang tinggal di rantuan, saya juga sangat aktif di paguyuban Ikatan Keluarga Sumbawa Jakarta Raya (IKASUM Jaya). Ikasum menjadi ruang bagi kami para perantau dari Tanah Bulaeng untuk bersilaturahi dan berdiskusi banyak hal tentang Sumbawa.

Saya bersabat dengan dua orang pemuda Sumbawa lainnya waktu itu. Kami sering berjumpa dan berdiskusi. Mereka adalah Julmansah (sekarang Kadis LHK NTB ) dan Berlian Rayes (Anggota DPRD Sumbawa). Kami sering bersua di rumah dinas Bang Hatta Taliwang, salah satu tokoh dari Ano Rawi (Sumbawa bagian barat) di Kalibata. Dari intensitas pertemuan yang cukup tinggi dan diskusi panjang, kami akhirnya mendeklarasikan Kaukus Muda Sumbawa. Dari sinilah kemudian mengalir diskusi reguler dan diperluas dengan melibatkan potensi pemuda, pelajar dan mahasiswa Samawa di berbagai tempat.

Peta Kabupaten Sumbawa Barat

Buah dari diskusi – diskusi intensif serta terdorong semangat untuk mengambil peran mengisi era reformasi, khususnya untuk kemajuan tanah kelahiran kami, Samawa, saya bersama sahabat- sahabat angkatan muda Samawa kemudian menginisiasi forum berskala nasional yaitu ‘Pertemuan Nasional Mahasiswa Samawa’ atau disingkat ‘PENA MAS’.

‘PENA MAS’ diselenggarakan di Sumbawa dengan menghadirkan tokoh – tokoh nasional yang pada masa masa awal reformasi sangat berperan memberi warna terhadap era baru itu. Mereka diantaranya menteri PAN RB (Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi) Prof. Ryas Rasyid dan Menakertrans (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Yacob Nuwaweya. Kegiatan itu juga disupport oleh tokoh-tokoh Sumbawa di kancah nasional dan regional seperti Prof. Din Syamsuddin, Hatta Taliwang, Almarhum H. Endon Sahabuddin, Daeng Ewan yang dalam beberapa tahun setelahnya dilantik menjadi Sultan Sumbawa dengan gelar YM Sultan Muhammad Kaharuddin IV, Dr Zulkieflimansyah (Gubernur NTB sekarang), Fahri Hamzah, Lalu Her, Ismaildin Wahab, H Musa Efendi, HA Muis, Dr Taufik dan tokoh – tokoh Sumbawa yang aktif di IKASUM Jaya. Sementara pada level regional dan NTB, tokoh yang paling aktif dan banyak menyiapkan waktu serta dukungan bagi angkatan muda Samawa saat itu adalah : H Agus Talino (wartawan sekaligus penanggungjawab harian Suara NTB). Sedang di birokrasi ada tokoh seperti Badrul Munir, Jamaluddin Malik, HA Latief Madjid dan politisi senior Tiga Serangkai (Alm) Muhmmad Amin, (Alm) Husni Jibril dan Nurdin Ranggabarani.

Dari PENA MAS kemudian berkembang diskusi untuk agenda tambahan berupa diskusi panel dengan  topik ‘Akselerasi Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB)’. Kami saat itu total berada di Sumbawa. Kami menjadikan Hotel Suci di Jalan Hasanuddin Kota Sumbawa sebagai basecamp Panitia Nasional PENA MAS. Dari Basecamp itu dirancang diskusi untuk memberi penguatan dan percepatan terbentuknya KSB. Perancangnya adalah tim kecil yang beranggotakan angkatan muda yang secara emosional memiliki keterkaitan dengan Samawa Ano Rawi yang menjadi cikal bakal KSB. Mereka diantaranya Sambirang Ahmadi dan Berlian Rayes. Saat itu, wilayah KSB selain Seteluk, Taliwang, Brang Rea, Brang Ene dan Jereweh, juga ada wacana termasuk Utan dan Alas.

Setelah melalui proses komunikasi intensif dengan para tokoh dan element lainnya, disepakati diskusi akan diselenggarakan di Taliwang dengan panelis ; Hatta Taliwang, Manimbang Kahariady, Andi Azisi Amin, KH Zulkifli Muhadli, dan H Endon Sahabuddin (tokoh Sumbawa asal Utan) dan saya ditunjuk sebagai moderator.

Tentu saja sebagai salah seorang inisiator dan sekaligus moderator dari forum itu, saya mengetahui banyak hal yang menjadi latar belakang berikut dinamika yang berkembang. Ttermasuk intrik – intrik yang dilakukan sekelompok kecil oknum yang ‘menunggangi’ forum itu dengan kepentingan kelompoknya. Alakukihal, dari forum itulah aspirasi pembentukan KSB menggema sampai ke Jakarta. Itu saya ketahui ketika kembali dari kegiatan di Sumbawa dan Taliwang. Saya bersama kawan-kawan, atas arahan dan dorongan para senior terutama Bang Hatta Taliwang dan H Endon S, bergerilya menyampaikan hasil diskusi dan juga aspirasi arus bawah ke Kementerian Dalam Negeri dan juga Kementerian Otonomi Daerah. Rumah kedua  tokoh ini, di Lenteng Agung dan rumah Dinas Kalibata menjadi Markas Perjuangan kami. Dari sana kami start bergerilya menyambangi berbagai pihak terkait di Jakarta untuk menyampaikan aspirasi soal pembentukan KSB.

Bahkan Menteri PAN RB, Prof. Ryas Rasyid, memberi akses dan apresiasi tinggi terhadap perjuangan itu. Sikap terbuka Prof Ryas Rasyid tidak lepas dari peran Manimbang Kahariady yang dekat dengan beliau. Keduanya, bersama SBY (Soesilo Bambang Yudoyono – mantan presiden RI), Hamid Awaluddin dan juga Anas Urbaningrum menjadi satu kekuatan yang ikut memberi warna pada era awal refornasi dengan aktif melalukan kajian serta meberi masukan melalui lembaga yang mereka bentuk yaitu ; Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan. Saya sendiri ikut terlibat aktif dalam diskusi dan berkontribusi dalam bentuk tulisan di lembaga ini.

Di sisi lain, tokoh- tokoh senior di Jakarta tidak berpangku tangan. Mereka terlibat aktif dalam mendorong percepatan pemekaran KSB dari Sumbawa. Salah satunya dengan merekomendasikan Daeng Ewan untuk masuk DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah). Atas rekomendasi para senior, saya dipercaya menjadi sekretaris untuk membantu kerja Daeng Ewan. Kerjasama ini membuat saya menjadi dekat dengan Sultan Sumbawa itu. Kedekatan itulah yang kemudian menjadi asal muasal diskusi intensif yang kelak membidani lahirnya Musyakara Rea ke-1 dan terbentuknya Lembaga Adat Tana’ Samawa (LATS).

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Waktu tak pernah menunggu. Perjuangan pembentukan KSB semakin masive. Tidak hanya kuantitas pertemuan, diskusi dan gerilya yang semakin tinggi. Kuantitas para pihak yang terlibat dan kualitas perjuanganpun semakin tinggi. Di Jakarta, di Ano Rawi, di Sumbawa, semua bergerak dengan satu tujuan, KSB harus terbentuk. KSB adalah keniscayaan. Sudah terlalu lama, wilayah barat Sumbawa ini berada dalam ketertinggalan. Infrastruktur, pelayanan umum dan hal-hal – hal lain yang menjadi hajat hidup masyarakat. Padahal kami punya Newmont (PT Newmont Nusa Tenggara) waktu itu. Disatu sisi, Sumbawa memiliki wilayah yang sangat luas. Pemerintah Daerah kewalahan untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat. Karena itu pemekaran wilayah menjadi jalan yang paling rasional.

Tanggal 20 Nopember 2003, DPRRI akhirnya mengetuk palu untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Pembentukan KSB. Semua masyarakat menyambut gempita. Tanggal itu kemudian ditetapkan menjadi hari lahir KSB. Daerah yang sekarang kita tinggali.

Saya sendiri, sampai pertengahan tahun 2002 masih berdomisili dan beraktivitas di Jakarta. Saya tetap kuliah. Hanya saja saat itu saya sudah bekerja sebagai staf konsultan di PT BIMU yang bergerak di bidang pengembangan SDM. Bersama Angkatan Muda Sumbawa, saya juga terlibat aktif dalam kajian-kajian keagamaan bersama tokoh muda Sumbawa Dr Zulkieflimansyah.  Kami saat itu sudah menjadi bagian dari Partai Keadilan (PK) dan menjadi bagian dalam upaya menguatkan eksistensi partai yang lahir dari rahim reformasi itu. Kami punya hubungan emosional yang kuat dengan partai ini, karena dua tokoh muda Sumbawa Dr Zulkieflimansyah dan Fahri Hamzah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kelahiran PK.

Sampai malam itu. Di tengah kegiatan liqo dalam nuansa keSumbawaan yang kental, murabbi kami, Dr Zulkieflimansyah mengajukan tantangan. Dalam bahasa Sumbawa ia berbicara lantang. “Sai tau roa ke tengan mole dadi Ketua Partai pang semawa..??” (Siapa yang mau dan berani pulang menjadi ketua partai di Sumbawa..??”

Saya spontan mengangkat tangan. “Aku mo…”

Awal tahun 2003 Saya pulang. Pulang ke Sumbawa dengan amanah berat di pundak sebagai memimpin partai. Partai yang baru saja lahir dari rahim reformasi. Saya pulang dengan kewajiban untuk membentuk dan mengkonsolidasikan kepengurusan partai baru itu dari tingkat DPD hingga kecamatan dan desa. Tantangan di liqo itu menjadi momentum pembuka jalan pulang bagi saya.(*)

Komentar