Kantong Budaya dan Arus Pemikiran Kritis

Oleh : Nurhikmah

Alumni Magister Budaya, Pegiat Komunitas Literasi Anorawi

Kekuatan masyarakat sipil (“civil society”), setidaknya dalam kurun waktu satu dekade terakhir, semakin menggeliat. Di Indonesia, bangsa yang cukup lama dikungkung oleh tradisi pembungkaman kebebasan berekspresi, dengan munculnya “kelonggaran” dalam berkumpul dan menyuarakan ide-ide, menjadi perayaan tersendiri. Memang, untuk mendukung perubahan dan perbaikan rakyat, negara harus disokong oleh “civil society” yang kuat dan mengakar. Salah satu yang menyeruak dan menjadi tren “new social movement” adalah gerakan kebudayaan. Tak bisa dimungkiri, pikiran dan ide yang lahir dari kantong-kantong budaya menjadi salah satu gerakan “perlawanan” dengan cara santun, berjuang lewat pena, dan kreativitas.

Gerakan kebudayaan merupakan superstruktur, apabila memakai pisau analisis Antonio Gramsci, seorang postmarxis yang tersohor dengan konsep hegemoni-nya. Disebut superstruktur karena terdiri atas dua unsur, yaitu tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif. Dengan mengedepankan kesadaran yang menjadi sebuah ideologi, maka gerakan masyarakat sipil menjadi lebih unggul daripada masyarakat politik. Gerakan semacam ini akan melakukan proses hegemonik dan meng-counter atau berjarak dengan dominasi penguasa. Hal ini ditandai dengan perjuangan ideologi yang berusaha membentuk kesatuan antara ekonomi, politik, dan keseimbangan intelektualitas demi kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. Kita bisa melihat di daratan Eropa, kekuatan aparatus ideologi lebih hegemonik, melalui media, kantong budaya, dan diskusi kritis. Berbeda halnya dengan Amerika Latin misalnya, yang lebih mengedepankan kekuatan respresif atau militer.

Dari paparan tersebut, dapat dilihat bahwa kebudayaan menjadi jejaring sosial yang mengusung kemerdekaan dalam berpikir kritis. Pada akhirnya, kebudayaan akan mendukung munculnya peradaban yang tinggi. Agaknya kita masih mengingat bahwa dalam sejarah kebudayaan Indonesia modern, ada relasi yang sangat erat antara seni budaya dan politik. Bahkan pada fase tertentu, seni budaya dipandang sebagai produk sebuah proses politik. Fenomena ini dapat ditemukan pada munculnya berbagai lembaga kesenian dan kebudayaan yang berafiliasi dengan partai tertentu. Pada tahun 1950-1960-an, lembaga kesenian dan kebudayaan partai tumbuh subur, seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN/PNI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra/PKI), dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi/NU). Namun, dalam tulisan ini, saya tidak ingin memperdalam konsep kebudayaan yang dianut pada era itu. Namun, ingin memberi gambaran bahwa kantong seni dan budaya dirasa penting untuk menegakkan sebuah kepentingan.

Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwa pada fase apapun dan di belahan bumi manapun, kebudayaan menjadi tonggak atau “alat” gerakan menuju perubahan. Dalam arus pemikiran kebudayaan-lah, proses untuk melakukan hegemoni dan budaya tanding, mungkin terjadi. Untuk menjalankan proses hegemonik, maka strategi menjadi sangat penting. Kelas pekerja, di era seperti ini, tidak bisa lagi mengisolasi dirinya dalam kelas proletariatnya semata. Namun sebaliknya, kelas ini harus mencoba menjadi “kelas kebangsaan” yang merepresentasikan dan mengartikulasikan kepentingannya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kelompoknya. Gerakan ini akan menyentil “rezim kepastian” di tataran kelas borjuis atau penguasa. Inilah yang memungkinkannya sebuah konsep Demokrasi Radikal, yang akan mengarah pada revolusi demokrasi sebagai medan artikulasi hegemonik dilihat dalam fenomena gerakan-gerakan sosial baru.

Dalam konteks kedaerahan, kemunculan gerakan kebudayaan, gerakan sosial baru, atau semacamnya, harus memiliki prakondisi setidaknya pada 2 hal, yaitu ruang publik dan komunitas budaya. Pertama, ruang publik menjadi spot yang sangat penting, terutama dalam konteks komunikasi massa. Sejarah mengingatkan kita bahwa gejolak pemikiran yang begitu besar arusnya lahir di ruang publik, dari kegalauan dan keresahan sekelompok orang, yang duduk dalam ruang yang nyata. Gejolak pemikiran yang begitu besar tersebut bisa mengaktifkan kembali ruang publik yang selama ini tidak memiliki “ruh”.

Pembangunan ruang publik dalam bidang kebudayaan menjadi suatu keniscayaan. Berbicara tentang hal itu, saya jadi teringat Abidin Kusno (2009), yang menekankan bahwa ruang publik menjadi sangat penting untuk membangun kebersamaan dalam komunitas karena memberi tempat untuk berinteraksi dan merajut momen-momen yang dapat diingat secara kolektif. Ruang publik adalah suatu arena bagi politik memori. Dari pernyataan ini, terdapat pemikiran bahwa kehadiran memori kolektif tergantung pada keberadaan ruang publik yang memberi tempat bagi kita untuk merajut ingatan bersama. Maka tak heran, jika kantong-kantong budaya selalu hadir di ruang publik dalam komunikasi yang intens.

Kedua, komunitas budaya. Kelompok orang yang berkumpul menjadi bagian dari proses untuk menggiatkan dan mendaratkan kembali kebudayaan dalam masyarakat. Apabila ruang publik sudah tersedia di satu kota, maka spot itu penting untuk dihidupi oleh komunitas atau kantong budaya. Seno Gumira Ajidarma (2007) pernah menulis bahwa kehidupan budaya adalah perbincangan antara hati dan kepala ketika merenungkan dunia-dalam perbincangan itu berlangsung tarik menarik, antara menyerah, melawan, atau menawar kepada proses kematian budaya.

Tulisnya, “Kalau Anda setiap hari berangkat ke tempat kerja pukul 6 pagi dan pulang pukul 5 sore, dan di rumah menunggu kantuk dengan menonton TV, maka anda telah mengalami kematian budaya. Kalau Anda merasa bahwa selingan yang menggembirakan dalam hidup hanyalah menonton di bioskop, jalan-jalan ke Mall, nongkrong di kafe, maka anda telah mengalami kematian budaya”. Komentar lebih menohok terhadap kaum yang mengaku “intelektual” adalah pada “Kalau Anda merasa bahwa kehidupan yang beradab, membaca buku-buku berat, mengambil kuliah S3, berdiskusi tentang politik dan agam, tapi memandang sebelah mata pada kesenian pengamen jalanan, maka anda telah mengalami kematian budaya. Atau ketika anda merasa harus menggauli puisi demi mutu hidup anda, atau menulis dan membaca puisi bernilai sastra, maka itu adalah kematian budaya”.

Dua prakondisi ini, termasuk di daerah, menjadi keniscayaan agar kerja-kerja intelektual dan kebudayaan bisa terasa ke setiap elemen masyarakat. Persoalan kritik atau melawan bukanlah sekedar gaya hidup atau ingin gagah-gagahan dalam adu pemikiran, tapi bagaimana segala macam kegelisahan itu bisa saling melengkapi untuk menjadi gerakan masyarakat sipil. Menjamurnya komunitas budaya, mulai dari komunitas nonton film, komunitas diskusi dan literer, pecinta alam, komunitas sepeda, dan sebagainya, adalah semacam geliat kebudayaan. Komunitas ini, selaiknya, bukan sekedar penyaluran hobi belaka, tapi ada pesan ideologis yang tersimpan didalamnya. Inilah yang perlu ditekankan agar komunitas budaya tersebut diisi oleh manusia-manusia atau generasi muda yang memahami akar ideologis dalam membangun rasa kebangsaannya, bukan menjadi generasi yang “membebek” atau sekedar ikut-ikutan. Bukan pula generasi yang mengalami kematian budaya.

Perkembangan kantong-kantong budaya kian ditunjang dengan lajur teknologi yang demikian deras. Simak saja banyaknya pertautan pemikiran terjadi di media sosial yang hanya terjadi dalam hitungan detik di berbagai penjuru dunia. Hal ini menjadi salah satu sinyal perkembangan kehidupan manusia. Teknologi yang semakin maju ini bisa menjadi medium perjuangan gerakan kebudayaan abad kontemporer. Gerakan kebudayaan yang tidak hanya untuk “gagah-gagahan” atau sekedar penyaluran hobi, tapi memiliki ruh penyadaran demi perubahan yang lebih baik. Jalan menuju perubahan bukanlah hal yang mudah, bahkan mungkin terjal. Namun, itulah hakikat “melawan”, dengan santun dan kreatif. Kalau seperti kata Nyai Ontosoroh pada Minke, dalam Bumi Manusia-nya PAT, “Kita telah melawan, Nak”.[]

 

 

Komentar