Dahulu kala di Damaskus, Suriah, hidup dua orang sahabat, Samir dan Muhammad. Samir yang lumpuh beragama Nasrani, sementara Muhammad yang tuna netra seorang Muslim.
Merasa sependeritaan, Samir dan Muhammad mengikat tali persaudaraan. Kapanpun, kemanapun dan dimanapun mereka selalu bersama, termasuk ke gereja dan ke masjid.
Mata Samir adalah penglihatan bagi Muhammad, sementara kaki Muhammad digunakan Samir untuk berjalan. Kisah dua sahabat ini banyak dikisahkan. Namun antar penulis punya gaya tersendiri.
Untuk menopang kehidupan, keduanya mengelola sebuah kedai kopi ditengah kota, dipinggir alun-alun Kota Dmamaskus, didekat masjid jami yang sepelemparan batu dari sebuah gereja kecil. Juga dikedai kopi itupula Samir dan Muhammad tinggal.
Kedai kopi milik Samir dan Muhammad ramai didatangi pengunjung. Pelayanan yang bersahabat dan harga yang murah jadi dari daya tariknya. Terkadang para sufi dan pendeta duduk semeja bersilaturahim dikedai itu. Begitu juga para peziarah yang kemalaman menginap dikedai itu. Untuk yang satu ini Samir dan Muhammad tak menarik biaya sewa.
Samir dan Muhammad dikarunia umur yang panjang. Keduanya hidup sampai renta. Namun Samir duluan wafat. Sepeninggal Samir, Muhammad hidup dalam kemurungan. Ia mengisi hari dengan menangis. Mulutnya selalu memanggil Samir. Tak lama kemudian, Muhammad pun wafat. (IR)
Komentar