TGB : Pancasila Model Ideal untuk Tangkal Radikalisme

Menurut tokoh yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) itu, Pancasila merupakan konsensus nasional untuk menciptakan kestabilan, kenyamanan lahir bathin, persaudaraan dan kohesivitas ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal itu ditegaskannya saat Dialog Nasional,  di Cafe Suka Resto, Laboratorium Agama, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu 17 juni 2017.
 Dialog yang mengusung tema: Radikalisme, Korupsi dan Pancasila tersebut juga menghadirkan Prof. Noorhaidi Hasan, MA, M.Phil., Ph.d sebagai narasumber.  Di hadapan ratusan mahasiswa UIN, orang nomor satu di NTB itu mengajak semua pihak untuk mewujudkan model ideal yang merujuk pada konsensus masyarakat sebagai bangsa.
“Di sinilah letak pancasila itu,” ungkap TGB.
Ia menambahkan kondisi ideal  yang diharapkan tercipta dengan baik oleh masyarakat, adalah model yang memiliki pijakan dan tautan.  Dannpijakan itu adalah pancasila. Maka pancasila itu, dalam seluruh tatarannya menghindarkan masyarakat dan anak-anak bangsa dari radikalisme atau ekstrimisme.
“Karena ujung dari perilaku itu adalah terorisme,” paparnya.
Untuk itu, TGB menekankan perlunya mencari sebab atau latar belakang terjadinya perilaku menyimpang sehingga memperoleh solusi terbaik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Gubernur ahli tafsir Al Qur’an itu, terdapat beberapa sebab  munculnya sikap radikalisme. Diantaranya adalah bacaan yang salah terhadap teks-teks agama.
Gubenur mencontohkan, gerakan ISIS yang saat ini marak, merupakan gerakan yang lahir dari bacaan yang memutarbalikkan teks-teks yang selama ini sudah benar.
“Kalau kita sepakat bahwa penyebab radikalitas ini adalah bacaan, maka responnya juga harus dengan bacaan yang memadai. Serta argumentasi-argumentasi ilmiah untuk meletakkan kembali teks itu dalam konteks yang benar,” jelas Alumni Universitas Al Azhar Mesir tersebut.
Sebab kedua  dari munculnya radikalitas menurut TGB adalah depresi sosial. Depresi muncul akibat tata nilai yang lebih banyak melarang ketimbang membolehkan.
Di dalam depresi sosial, terangnya, terdapat keputusasaan yang melahirkan kemarahan. Dan akan terakumulasi menjadi perlawanan yang menyebabkan lahirnya ekstrimitas. Ketiga,  mungkin akibat tekanan ekonomi, dengan banyaknya orang terdidik yang tidak menemukan tempat untuk mengaktualisasikan ilmunya dalam dunia kerja. Sebab faktor pekerjaan menurutnya berkaitan dengan kemampuan keuangan negara untuk menciptakan lapangan kerja.
Ditambahkan, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah akibat hilangnya pendidikan budaya yang baik. Sekolah, masjid, pranata adat, tatanan sosial yang baik harus melahirkan pendidikan budaya yang baik.
“Sekolah merupakan institusi untuk menciptakan pendidikan yang baik,” tegasnya. (Yus)

Komentar