Cinta Dalam Ruang Kontemplasi

Oleh : Nurhikmah

Alumni Magister Budaya, Pegiat Komunitas Literasi Anorawi

 Manusia dan cinta. Dua term ini memang saling berkait dan melengkapi. Manusia akan merasa dirinya hampa tanpa cinta. Pun sebaliknya, cinta tak akan begitu bermakna tanpa pikiran dan rasa dari manusia. Bahkan, kutipan menarik akhir-akhir ini dari seorang BJ.Habibie, “Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya. Dan tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup” menyiratkan pentingnya cinta dalam kehidupan manusia. Itu artinya, akal manusia perlu diseimbangkan dengan rasa cinta, bukan dalam arti sempit, tapi secara universal, yaitu cinta pada kemanusiaan. Akan sangat berbahaya, apabila seorang jenius ahli nuklir tidak memiliki rasa cinta, dia akan bereksperimen untuk menghancurkan dunia demi eksistensi ilmunya.

Bagi sebagian kalangan, persoalan tentang cinta kadang dianggap tema yang remeh untuk dibincangkan. Tema-tema tentang politik dan hiruk pikuknya dirasa lebih “gagah” menjadi bahan obrolan. Padahal, cinta bukanlah sesuatu yang menjadi makanan penutup atau tambahan, dia bisa menjadi menu utama, di kala ketidakadilan kian merajalela. Maraknya kekerasan dalam masyarakat, ancaman saling membunuh antarkelompok, mencerminkan tidak adanya rasa cinta dalam logika hidup manusia. Atau seseorang yang mengeruk kekayaan negara demi kepentingan pribadi menyiratkan tumpulnya nurani dan kikisnya cinta pada bangsanya. Saya ingin menyitir satu kalimat dalam lagunya Iwan Fals, yang berjudul Bongkar, bahwa Bila cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang…”.

Beberapa waktu lalu, momen bagi kebanyakan orang di dunia adalah perayaan Valentine 14 Februari silam. Tak heran, Februari dianggap sebagai bulan paling romantis. Perayaan tanggal itu ditandai dengan pengiriman puisi cinta dan hadiah sederhana, semisal bunga dan cokelat. Namun, meskipun sudah berlangsung lama, momen Valentine Days ini selalu mengundang perdebatan dan penolakan. Hal ini sama halnya ketika menelusuri sejarah munculnya Valentine Days. Beberapa ahli mengatakan bahwa asal mula Valentine itu berkaitan dengan St. Valentine, seorang pria Roma, yang menolak melepaskan agama Kristen yang diyakininya. Ia meninggal pada 14 Februari 269 Masehi, bertepatan dengan hari yang dipilih sebagai pelaksanaan undian cinta”. Legenda juga mengatakan bahwa St. Valentine sempat meninggalkan ucapan selamat tinggal kepada putri seorang narapidana yang bersahabat dengannya. Di akhir pesan itu, ia menuliskan : “Dari Valentinemu”.

Sementara itu sebuah cerita lain mengatakan bahwa Saint Valentine adalah seorang pria yang membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan di sebuah kuil pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Ia dipenjarakan atas kelancangannya membantah titah sang kaisar. Baru pada tahun 496 Masehi, pendeta Gelasius menetapkan 14 Februari sebagai hari penghormatan bagi Valentine. Dalam sejarahnya, di Amerika Serikat, Miss Esther Howland tercatat sebagai orang pertama yang mengirimkan kartu valentine pertama. Acara Valentine mulai dirayakan besar-besaran semenjak tahun 1800 dan pada perkembangannya, acara ini menjadi sebuah ajang bisnis yang menguntungkan.

Akan tetapi, cinta dan hakikatnya bukan hanya tentang Februari atau perayaan Valentine. Merenungi cinta bukan hanya tentang simbol-simbol yang hanya terjebak pada cinta dua orang insan, tapi juga cinta universal. Dalam tulisan ini, saya tidak hendak mengamini atau mendebatkan perayaan tersebut dengan menulis sesuatu tentang cinta, tapi menjadikan momen tersebut untuk berkontemplasi. Bukankah memahami, merenungi, dan memaknai segala sesuatu adalah upaya untuk berjarak dan mengambil kebaikan darinya? Saya ingin menyitir beberapa konsep tentang cinta dari berbagai perspektif, mulai dari kemanusiaan universal, tentang kebebebasan, kesetiaan, dan cinta dari sudut pandang lokal, tempat kita berdiri.

Membicarakan tentang cinta, saya teringat dengan pembahasan dari Erich Fromm, seorang filsuf sosial dan psikolog. Fromm menghadirkan konsep cinta sebagai kemampuan untuk berpikir dan berkembang. Dia menolak ide tentang cinta sebagai sesuatu yang magis atau misterius, yang tidak bisa dianalisis atau dijelaskan. Banyak orang meyakini jatuh cinta sebagai ide populer yang bisa membutakan logika. Lalu, manusia modern mengalami alienasi dari orang dan lingkungan di luarnya.

Namun, Fromm melihat bukan sekedar pada tataran itu, tapi lebih menekankan pada pengklasifikasian cinta. Cinta persaudaraan adalah cinta pada sesama manusia; cinta keibuan adalah cinta ibu pada anaknya; cinta diri adalah cinta pada diri sendiri; dan sebagainya. Elemen-elemen cinta menurut Fromm adalah perhatian, tanggungjawab, penghargaan serta pemahaman. Dalam bukunya “The Art of Loving” (1956), Fromm melihat cinta sebagai sebuah seni, yang harus dimengerti dan diperjuangkan, dan tak bisa lepas dari konsep kebebasan dan kemanusiaan.

Sedangkan bagi seorang Anton Chekov, penulis Rusia, melihat bahwa cinta menjadi bagian dari “tempat yang sangat suci”. Menurutnya, tempat yang suci tersebut adalah tubuh, kesehatan, kecerdasan, bakat, inspirasi, cinta, dan kebebasan. Cerita tentang cinta mengajarkan tentang kesederhanaan dan kejujuran, dan yang lebih penting menjadi diri sendiri, meskipun kita terlalu “rapuh” untuk menyatakan itu. Konsepnya menjadi teramat penting untuk ditelusuri, mengingat banyaknya fenomena kehidupan di lingkup privat dan universal tidak mencerminkan adanya cinta.

Yang menarik lagi adalah melihat cinta dari cita rasa lokal, salah satunya di Tanah Sumbawa. Menguak Cinta “Tau Samawa”, membuat kita membuka tabir yang lebih mendalam karena kaya dengan nilai seni dan filsafat. Nilai-nilai yang tercermin didalamnya menyingkap perspektif yang bisa ditelusuri dari sejarahnya, yaitu tentang kesetiaan dan pengorbanan. Dari cerita-cerita cinta “Tau Samawa”, ada 3 prinsip yang dianut, yaitu Saling Sayang, Saling Pendi, Saling Sakiki. Tiga hal ini bernilai sangat tinggi untuk menunjukkan rasa cinta dan kemanusiaan yang mendalam.

Meskipun filosofi cinta Sumbawa begitu tinggi, beberapa cerita cintanya berakhir tragis. Dua cerita yang melambangkan cinta dapat dilihat dalam 2 kisah, yaitu Lala Jinis dan Maipa Dea Pati. Dalam roman Tanjung Menangis, berkisah tentang Lala Jinis dan Zainal Abidin (Lalu Dia’) yang gagal memadu kasih dan bersatu karena tidak mendapat persetujuan. Walaupun rasa sayang yang mendalam, tapi mereka tidak bisa bersama, dan akhirnya Zainal Abidin harus meninggalkan Tana Samawa.

Kisah lainnya yaitu Maipa Dea Pati, seorang putri dari Datu atau Raja Jereweh. Kecantikan dan tutur sapa yang santun membuat kaum Adam terpikat dan jatuh hati. Dia bertemu dengan seorang gagah berani, yang melawan penjajah, yaitu putra dari Lalu Nujum, Abdul Rahman yang bergelar Datu Museng. Dia terkenal gagah berani dan mahir memainkan pedangnya yaitu keris samba. Mereka kemudian menikah. Namun, kisah cinta mereka mengalami prahara, yang berawal ketika Datu Museng ditugaskan ke Makasar untuk melaksanakan perundingan dengan Belanda. Dengan gagah berani, dia melaksanakan perintah tersebut dan membawa Maipa Dea Pati besertanya.

Pada saat itu, yang menjadi gubernur di Makasar adalah Cornelis Sinkelaar, seorang penggila wanita cantik. Cornelis kemudian melihat Maipa Dea Pati di Istana. Dia tergila-gila dan berkeinginan merebut Maipa Dea Pati dari Datu Museng. Merasa harga diri diinjak-injak, Datu Museng-pun menghunus keris Samba-nya. Atas permintaan Maipa Dea Pati, lebih baik mati di tangan suaminya ketimbang harus menjadi gundik gubernur Cornelis Sinkelaar. Datu Museng menghunus keris samba dan menggorok leher istri tercintanya. Ketika gubernur datang menjemput Maipa, ternyata Maipa Dea Pati tak bernyawa lagi. Datu Museng pun bunuh diri dengan kerisnya.

Cerita Lala Jinis dan Maipa Dea Pati bisa dilihat sebagai bukti kesetiaan perempuan Sumbawa. Dua kisah yang berakhir tragis dalam tradisi Sumbawa tersebut menjadi perjalanan cinta tentang kesetiaan. Kalau dalam istilah Anton Chekov, cerita dan perpisahan adalah catatan yang menyenangkan dan mengharukan tentang kesetiaan manusia.

Beberapa perspektif cinta yang saya paparkan tersebut agaknya perlu menjadi renungan bagi kita, bangsa yang melankolik ini. Hal yang paling mutlak dimiliki manusia adalah kebebasan dari kekerasan dan kebohongan dalam bentuk apapun yang dapat diekspresikan. Atas hal ini, kita perlu mempertanyakan tentang “kekerasan” atas nama apapun terhadap sesama manusia. Cinta mungkin sekedar fantasi, akan tetapi ikhtiar untuk menghadirkannya merupakan keniscayaan. []

Komentar